Selasa, 09 Oktober 2018

Beda-Is-Me : Mengenal Perbedaan


        Halo semuanya apa kabar ? Semoga baik-baik saja yaa... kali ini gue akan share tentang kegiatan gue satu minggu yang lalu bersama Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Kegiatan ini mengenai isu terkait dengan Pluralisme, Hak Asasi Manusia, Perbedaan, dan lain-lain.
       Apa itu Beda-Is-Me ? Menurut gue, Beda-Is-Me adalah suatu paham mengenai keberagaman dan perbedaan. Untuk selanjutnya kalian bisa liat di channel youtube gue ya he-he-he. Keberagaman itu sangat dekat dengan kita. Sederhana saja, gue perempuan dan lu laki-laki, kedua hal itu adalah suatu ciri perbedaan dari segi identitas sex. Selain itu perbedaan dari segi gender, si A identitasnya adalah perempuan, tapi gendernya adalah laki-laki. Artinya perempuan tersebut adalah mempunyai sisi maskulin walaupun identitasnya adalah perempuan.
     Banyak lagi macam perbedaan yang sering kita temui di kehidupan sehari-hari, yaitu suku, agama, ras, budaya, etnis, dan lain-lain. Nah.. ini yang sering menjadi kajian diskusi yang menarik mengenai bagaimana kita sebagai manusia ciptaan tuhan yang berbeda-beda dapat memahami perbedaan satu sama lain.
      Selama gue ikut pelatihan selama 4 hari 3 malam di Sukabumi, gue menjadi mengerti dan paham kenapa mereka memilih pilihan hidupnya. Bukan berarti gue menyakini pilihan mereka. Seperti contoh, salah satu temen gue yang ikut pelatihan memiliki keyakinan milah ibrahim atau pengikut organisasi Gafatar. Gue kaget setengah mati, ternyata gue langsung berkenalan dengan orang ini yang dulu tahun 2016 awal lagi viral-viralnya di media massa mengenai ajaran agama sesat. Setelah gue banyak ngobrol sama temen gue, gue jadi mengerti kenapa mereka menyakini keyakinan mereka. Dibilang, ateis yaa bukan, bertuhan yaa iya. Gue juga agak bingung waktu itu. Tapi temen gue meluruskan kalau mereka menyakini tiga ajaran agama samawi atau agama yang langsung dari tuhan yaitu agama islam, kristen, dan yahudi. Untuk lebih mendalam mengenai ajaran tersebut gue masih gagal paham juga ha-ha-ha. Menurut temen gue, ajaran milah ibrahim itu apa yang diajarkan oleh nabi Ibrahim dahulu. Setelah munculnya 3 agama besar, terjadi perpecahan antar umat beragama dan saling bertentangan satu sama lain, sehingga mereka menurut para keyakinan milah ibrahim untuk mengikuti nilai-nilai nabi ibrahim itu sendiri.
      Kembali lagi ke paham beda-is-me. Nah, yang menjadi permasalahan disini adalah bagaimana sikap kita terhadap orang yang berbeda dengan keyakinan orang lain yang berbeda dengan kita. Waktu itu gue sih bersikap baik-baik saja, kalau dia berbicara tentang keyakinan dia gue tidak mencela. Tapi bagaimana dengan orang yang minoritas seperti temen gue ini menghadapi lingkungan sekitar seperti mencari pekerjaan, mendapatkan akses pelayanan publik dan lain-lain. Untuk hal pekerjaan saja, temen gue salah satu peserta juga mengaku LGBT, doi gay. Gue suka cerita dan bertanya banyak dengan temen gue, kenapa lu gay ? apa lu ga takut dapet pekerjaan ? Ntar orang tua lu gimana ? Ntar lu digerbek polisi gimana. Temen gue jawabanya simple dan sangat bijak sekali. Doi menjawab untuk jika dihadapkan dengan lingkungan yang berbeda seperti itu doi akan bersikap profesional dan memperlakukan seperti orang-orang awam yang lainnya. Mungkin jika doi ketemu sama temen-temen yang senasib mungkin dia seperti itu.
     Banyak banget sih hal yang didiskusikan selama di Sukabumi kemarin, umumnya tentang masalah mayoritas dan minoritas. Dan di akhir acara gue jadi makin paham dan mendapatkan kesimpulan. Mayoritas pasti lebih diperhatikan dibandingkan dengan minoritas. Gue yang termasuk kaum mayoritas menjadi peduli dengan teman-teman minoritas, seperti contoh sederhana, gue berteman dengan temen gue yang kristen, katholik, temen gue yang cina, suku batak, suku jawa, suku bugis, LGBT, pendukung yang 01, pendukung yang 02, dan keyakinan minoritas lainnya. Dan ini juga menjadikan kita sebagai manusia yang bijak, netral, dan memahami satu sama lain.

Selasa, 11 September 2018

Product Liability Dalam Hukum Perlindungan Konsumen




Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen apabila dirugikan didalam menggunakan barang atau jasa dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak disini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/ penjual ataupun pihak yang memasarkan produk; tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen, bahkan kematian. Kualifikasi gugatan yang lazim digunakan diberbagai Negara, termasuk Indonesia, adalah wanprestasi (default) atau perbuatan melawan hukum.
Prinsip product liability merupakan instrument hukum yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen, khususnya terhadap hak atas keselamatan, kesehatan, dan hak untuk mendapatkan ganti kerugian. Instrumen ini diperlukan karena pengaturan di bidang cara berproduksi (quality control techniques) dan perdagangan barang, belum memadai untuk mencegah atau menghindari serta melindungi konsumen yang menderita kerugian, baik kerugian berupa cacat atau kerusakan pada tubuh konsumen, maupun kerusakan pada harta benda lain, maupun kerusakan yang berkaitan produk itu sendiri, sehingga di damping peraturan mengenai cara berproduksi, masih perlu dibutuhkan instrument hukum lain yang secara khusus menjamin perolehan ganti kerugian akibat mengonsumsi suatu produk, (product liability).[1]
Tanggung jawab produk (Product liability) merupakan suatu istilah terjemahan dari istilah asing “Product(s) Liability” (Inggris) dan istilah “product aansprakelijkheid” (Belanda). Ada pula yang menerjemahkan menjadi “tanggung jawab produsen” dari istilah Jerman “produzenten hafting”. Tanggung jawab produk dalam arti bahasa Indonesia yang sudah umum dipakai oleh masyarakat awam dan para sarjana hukum secara teoritis dan praktisi untuk pengertian “responsibility” maupun pengertian “liability”.
Prof. Gautama dalam konvensi di Den Haag tahun 1972 juga membicarakan tentang tanggung jawab produk, namun pada konvesi tersebut, beliau tidak memberikan terjemahan atau istilah untuk hal tersebut. Secara bergantian dipakai istilah “product liability” dan “Tanggung jawab untuk hasil produksi” juga “tanggung jawab produsen terhadap hasil produksinya”.[2]
Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan melawan hukum (tort), hubugan kontraktual tidaklah disyaratkan. Dengan kualifikasi gugatan ini, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur :[3]
a.       Adanya perbuatan melawan hukum;
b.      Adanya kesalahan/kelalaian pelaku usaha;
c.       Adanya kerugian yang dialami konsumen;
d.      Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami konsumen.
Sebenarnya dalam kasus terkait prinsip tanggung jawab mutlak pelaku usaha dapat dipertanyakan tentang intervensi pemerintah dalam memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen, khususnya terhadap keselamatan dan kesehatan, dan hak untuk mendapatkan ganti rugi, baik itu cacat atau kerusakan pada tubuh konsumen (bodily/ personal injury), maupun kerusakan yang berkaitan dengan produk itu sendiri (pure economic loss).[4]
Terminologi “product liability” masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di Indonesia. Ada yang menerjemahkannya sebagai “tanggung gugat produk”[5]. Guna memudahkan pembahsan, penulis akan lebih banyak menggunakan istilah aslinya tanpa mengurangi makna dan substansinya.
Dalam Black’s Law Dictionary, terdapat 3 rumusan mengenai Product Liability, yaitu :[6]
a.       A manufacture’s or seller’s tort liability for any damages or injuries suffed by a buyer, user, or bystander as a result of a defective product. Product liability can be based on a theory of negligence, “strict liability”, or breach of warranty.
b.      The legal theory by “which liability is imposed on the manufacturer or seller of a defective product.
c.       Refers to the legal liability of manufactures and sellers to compensate buyers, users and even bystanders, for demages or injuries suffers becaused of defects in goods purchased.
Konsep product liability masih merupakan hal baru bagi Indonesia. Penerapan konsep ini dibidang produk medis di Negara maju masih tergolong baru.[7] Dalam membicarakan konsep ini sebagian literature hukum merujuk pada “The Thalidomide Tragedy”[8] 
Prinsip tanggung jawab produk mutlak (strict product liability) merupakan prinsip tanggung jawab yang tidak didasarkan pada aspek kesalahan (fault negligence) dan hubungan kontrak (privity of contract), tetapi didasarkan pada cacatnya produk (objective liability) dan risiko atau kerugian yang diderita konsumen (risk based liability). Dikatakan bahwa tujuan utama dari prinsip tanggung jawab mutlak adalah jaminan atas konsenkuensi atau akibat hukum dari suatu produk yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen.[9]
Menurut Inosentius Samsul seorang dosen hukum perlindungan konsumen di Universitas Indonesia, menyatakan bahwa persyaratan hubungan kontrak sama sekali tidak melindungi konsumen yang tidak secara langsung berhubungan dengan produsen (remote seller) dan menjadi salah satu hambatan bagi konsumen yang mengalami kerugian untuk menuntut haknya. Sebaliknya, persyaratan hubungan kontrak mempersempit tanggung jawab produsen, karena konsumen yang mempunyai hak untuk menggugat terbatas pada konsumen yang mempunyai hubungan langsung dengan produsen. Padahal dalam kehidupan sehari-hari justru keadaan seperti ini yang sering terjadi, dan bahkan konsumen yang menjadi korban lebih banyak orang yang bukan pembeli atau mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan produsen.[10]
­­­Tanggung jawab produk ini termasuk ke dalam perbuatan melanggar hukum tetapi ditambahkan dengan tanggung jawab  mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsure kesalahan pada pihak pelaku. Dalam penerapan tanggung jawab produk ini, pelaku usaha pembuat produk atau yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali dapat dibuktikan keadaan sebaliknya, bahwa kerugian yang terjai tidak dapat dipersalahkan kepadanya.[11]

Sumber :

Inosentius Samsul, Buku Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak
J. Guwandi, Buku Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik
Yusuf Shofie : “Product Liability Dalam Institusi Hukum Ekonomi: suatu Kajian Ius Constitundum”, Jurnal Hukum dan Pembangunan UI
Az. Nasution, dkk : Buku Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan dalam hal Makanan dan Minuman


[1] Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, hal. 22.
[2] S.Gautama, Kapita Selekta Hukum Perdata Internasional, (Jakarta : Nusa Indah, 1980), hal. 105
[3] Yusuf Shofie, “Product Liability Dalam Institusi Hukum Ekonomi: suatu Kajian Ius Constitundum”, Jurnal Hukum dan Pembangunan UI, (Juli-September 1999), hal. 254.
[4] Ibid.
[5] Az. Nasution, dkk, Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan dalam hal Makanan dan Minuman, (Jakarta : BPHN, 1994), hal. 44.
[6] Anonim, Black’s Law Dictionary, (St. Paul : Minn West Publishing Co., 1990), hal. 1209.
[7] Untuk memahami Product Liability di Bidang Medis, liaht : J. Guwandi, Tindakan Medik dan tanggung Jawab Produk Medik, (Jakarta : FKUI, 1993), hal. 50-60.
[8] Lihat : “Consumer Protection” dalam C. Hamblin & F.B. Wright, Introduction to Comercial Law, (London : Sweet & Maxwell, 1988), hal. 201; dan Anwar Fazal & Rajeswari Kanniah, The A to Z Consumer Movement (Penan, Malaysia : IOCU, 1988), hal. 59.
[9] Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak,, hal. 227.
[10] Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, hal. 56.
[11] Berdasarkan prinsip Strict Liability ganti kerugian bagi konsumen korban produk yang cacat harus diberikan, tanpa melihat ada atau tidaknya unsure kesalahan pada pelaku usaha. Produsen bertanggungjawab untuk menghasilkan produk yang tidak cacat yang tidak membahayakan konsumen. Tanggung jawab langsung atas produk yang cacat untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen korban timbul dari sifat produk bukan dari sikap tindak pelaku usaha.

Plea Bargaining System


           
Apakah kalian pernah mendengar bentuk negoisasi atau perundingan yang dilakukan antara jaksa penuntut umum dengan tersangka atau kuasanya dalam praktik penanganan tindak pidana ? perundingan tersebut mengenai tuntutan, dakwaan, tuduhan, dan ancaman apa yang akan digunakan pada saat persidangan kelak. Hal tersebut merupakan suatu pelanggaran hukum jika kita lihat dari pelaksanaannya, namun tidak jika di Amerika Serikat, sistem ini suatu yang legal dan formal dalam sistem peradilan pidana di negara tersebut. Sistem yang dimaksudkan oleh penulis kali ini adalah plea bargaining system. Merupakan suatu bentuk negoisasi (tawar menawar) antara penegak hukum hal ini adalah jaksa penuntut umum dengan tersangka atau kuasanya mengenai dakwaan seperti apa yang akan digunakan dalam persidangan peradilan pidana kelak. Perundingan ini juga membahas mengenai tawar menawar jumlah pengurangan dakwaan yang dilakukan oleh jaksa. Alasan pokok bagi penuntut umum untuk melakukan ‘negoisasi’ disebabkan atas dua hal : pertama, karena jumlah perkara (case load) yang sangat besar, sehingga menyulitkan kedudukan penuntut umum yang tidak mungkin dapat bekerja secara efektif mengingat faktor waktu. Kedua, karena penuntut umum berpendapat, bahwa kemungkinan akan berhasilnya penuntutan sangat kecil. Pada umumnya, yang termasuk dalam sebab kedua ini ialah kurangnya bahan pembuktian, kurangnya saksi yang dapat dipercaya, atau tertuduh adalah orang yang dianggap ‘respectable’ di kalangan para juri.
            Sejarah mengenai plea bargaining ini muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, sistem ini berperan sekali dalam mengatasi kesulitan menangani perkara pidana. Bahkan pada tahun 1930, pengadilan di Amerika Serikat sudah menggunakan sistem plea bargaining ini. Pada tahun 1958, Mahkamah Agung Amerika Serikat (Supreme Court of Justice) bahwa praktik plea bargaining ini adalah sistem yang illegal, Akan tetapi atas keberatan Departemen of Justice kehendak tersebut tidak dilaksanakan. Bahkan akhirnya pada tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan bahwa “plea bargaining was inherent in the criminal law and its administration” (Brady VS United States, 297 U.S. 742/1970). Hingga saat ini tidak ada perhatian yang mendalam untuk menghapus sistem plea bargaining ini di Amerika Serikat oleh karena dengan adanya sistem tersebut nampaknya telah memperoleh suatu “fair trial” dan “accuracy” dalam perkara pidana.
            Berlandasan pada beberapa batasan plea bargaining dapatlah disimpulkan sebagai berikut :
1.      Bahwa plea bargaining ini pada hakikatnya merupakan suatu negoisasi antara pihak penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya;
2.      Motivasi negoisasi tersebut yang paling utama ialah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana
3.      Sifat negoisasi harus dilandaskan pada ‘kesukarelaan’tertuduh untuk mengakui kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikan ancaman hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya;
4.      Keikutsertaan hakim sebagai wasit yang tidak memihak dalam negoisasi dimkasud tidak diperkenankan.
Jika melihat dari rancangan KUHAP (R-KUHAP) di Indonesia yang mencoba memadukan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam sistem hukum civil law dan sistem hukum common law ditemukan hal-hal yang baru. Salah satu hal yang baru yang terdapat dalam R-KUHAP adalah keberadaan lembaga plea guilty.
Keberadaan lembaga plea guilty merupakan slaah satu cirri khas hukum acara di Negara common law yang coba dianut dalam R-KUHAP. Lembaga plea guilty yang dianut dalam R-KUHAP tidak secara mutlah megambil nilai plea bargaining yang ada di Negara common law. R-KUHAP hanya mengambil sebagian nilai-nilai plea bargaining yang dianggap dapat disesuaikan dengan sistem hukum Indonesia. Nilai plea bargaining yang diambil dan dimasukan dalam R-KUHAP adalah nilai plea guilty (pengakuan kesalahan)
Gagasan untuk memasukan nilai-nilai plea guilty dalam R-KUHAP didasari bahwa lembaga plea guilty memiliki nilai lebih yakni dapat lebih menunjang asas peradilan pidana yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Di sisi lain, keberadaan lembaga plea guilty banyak menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan tersebut mengenai kedudukan, potensi terjadinya miscarriage of justice (peradilan sesat) yang ditimbulkan dan peranan dari lembaga plea guilty dalam R-KUHAP
Jika sekilas kita melihat, plea bargaining ini merupakan diskresi dari penegak hukum, dalam hal ini adalah jaksa penuntut umum. Jaksa diberi kewenangan untuk memberikan kesempatan kepada si tersangka dalam mengakui kesalahannya. Pengakuan tersebut juga menguntungkan dari pihak jaksa itu sendiri yakni mempermudah dan mempercepat dalam proses perkara tindak pidana. Dan untuk pihak tersangkanya sendiri, apabila tawaran ini menguntungkan maka sebaliknya jaksa berwenang untuk memberi reward kepada tersangka yakni pengurangan hukuman dalam surat dakwaannya.
           
Sumber :
Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar  Karangan Prof.Andi Sofyan, S.H.,M.H.
Sistem Peradilan Pidana Kontemporer Karangan Prof. Romli Atmasasmita,S.H.

Kebijakan Hukum Pidana : Studi Penggabungan dan Pemisahan Hukum Agama dan Hukum Pidana di Indonesia




Abstrak
            Indonesia merupakan Negara yang memiliki macam ragam budaya, suku, ras, golongan dan agama. Dalam hal agama sendiri, Indonesia memiliki 5 agama yang diyakini yakni, Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Hindu. Setiap warga Negara berhak untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini tidak terlepas dari peran Negara dalam melindungi hak-hak warga Negara yang memeluk agamanya masing-masing, maka dalam hal ini pentingnya sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal yang berkaitan dengan agama.
            Indonesia merupakan Negara muslim terbesar di dunia dengan presentase 88,1 % atau sebanyak 255.461.700 jiwa. Indonesia juga memiliki suku, budaya, dan agama yang beragam sehingga Indonesia merupakan Negara yang menganut pancasila salah satunya mengakui bahwa ketuhanan yang maha esa yang artinya Indonesia tidak terlepas dari ketuhanan ataupun agama. Banyaknya perdebatan yang timbul apakah Negara Indonesia ini Negara yang menganut islam karena dilihat dari penduduknya atau Negara yang menganut pancasila ? Berbagai kasus yang menyangkut tentang keagamaan sering terjadi dan dari tahun 1965 sudah ada peraturan mengenai pasal penodaan agama, yang pada intinya adalah barang siapa dengan sengaja menebar kebencian, penodaan, penyalahgunaan suatu agama di muka umum, maka dikenai hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
                        Kata Kunci : Perbandingan, Kebijakan Hukum Pidana, Hukum Islam.
A.    Pendahuluan
Indonesia merupakan penganut atas pancasila nya yang kuat, melihat Nilai pancasila sebagai sumber hukum Indonesia, dimana mempunyai tujuan untuk menegakkan hubungan keserasian nilai di dalam masyarakat. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa nilai-nilai didalam pancasila ada nilai spiritualisme, nilai kerakyatan, nilai persatuan dan nilai keadilan. Pancasila terdiri dari sistem nilai dimana yang mampu mendirikan sebagaimana mempertahankan hubungan keserasian nilai di dalam masyarakat. Keserasian nilai antinomi dalam Pancasila merupakan sesuatu yang layak sebagai sumber hukum Indonesia, sebagai sarana untuk menegakkan sebagaimana sebaiknya mempertahankan hubungan keserasian nilai di dalam masyarakat. Menurut A. Brotosusilo dalam perkuliahan filsafat hukum yang diberikan pada semester 1 sebelumnya, Pancasila bukan grundnorm, tetapi Pancasila merupakan turunan dari nilai-nilai filosofis yang ada di dalam masyarakat di Indonesia. Masyarakat lebih memiliki nilai gotong royong, nilai kerakyatan, nilai keadilan, dan nilai spiritualisme. Semua nilai-nilai tersebut dituangkan ke dalam dasar hukum yakni Pancasila.
            Nilai-nilai pancasila lebih mengarah ke hukum adat, dimana pancasila merupakan dasar pondasi filosofi dari konstitusi UUD 1945, berdasarkan Nusantara (lalu yang disebut Negara kepulauan Indonesia), nilai kebudayaan, adalah kristalisasi dari kelima sila pancasila. Pancasila ada di dalam hukum adat sebagai keserasian yang terjalin menjadi prespektif kebudayaan Indonesia. Mengambil teori dari Savigny, baginya sistem hukum merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat. Hukum bukan suatu hasil pengadilan atau hasil dari pembuat undang-undang tetapi berkembang sebagai suatu respon terhadap kekuatan impersonal yang ditemukan pada semangat nasional rakyat (Volkgeist).
            Di samping itu juga, Negara Indonesia menganut Hak Asasi Manusianya yang kuat berlandaskan pada ajaran Pancasila pada sila ketiga, yakni kemanusian yang adil dan beradab. Jika dilihat dari segi pemidanaan di Indonesia merujuk pada KUHP yakni pidana penjara, pidana denda, hingga pidana mati. Tentunya pemidaan tersebut tidak berlaku semua untuk pidana yang ada di hukum positif di Indonesia namun juga adanya pertimbangan-pertimbangan hakim untuk menentukan pidana seperti apa yang pantas bagi pelaku kejahatan. Tidak sampai kedalam pemidanaan saja tapi setelah pemidanaan yang dijatuhkan apakah ada rasa efek jera terhadap si pelaku tersebut dan tidak melakukan kejahatan lagi ?
            Jika dibandingkan dengan hukum islam yang diterapkan di Arab Saudi salah satunya. Negara tersebut menganut ajaran Al-Quran dan Hadist sebagai landasan hukumnya, seperti mencuri. Mencuri di Negara Arab Saudi dilakukan dengan cara potong tangan. Hal tersebut jelas ada di al-Quran dalam surat Al-Maidah (5) : 38 yang berbunyi : “Laki-Laki maupun Perempuan, jika ia mencuri, potonglah tangannya.”. Tidak heran jika Negara Arab Saudi yang sebagian dari masyarakatnya kehilangan tangan karena pernah mencuri. Maka, di Negara Arab Saudi selain merupakan salah satu Negara terkaya di dunia, masyarakatnya menerapkan sistem zakat, bagi orang kaya yang mampu maka sebagian harta nya dibagikan ke orang-orang miskin. Penerapan sistem hukum islam tersebut memberikan dampak sebuah efek jera dari pemidanaan itu sendiri jika mencuri akan dipotong tangannya setelah itu tidak akan mencuri lagi, selain itu zakat yang diterapkan mengurangi dampak kemiskinan yang terjadi bahkan mengurangi angka kriminalisasi di Negara tersebut. Pertanyaannya adalah, Bagaimana konsep hukum agama jika dicampuradukan dengan Negara serta bagaimana pula jika dipisahkan dengan Negara ?
B.     Pembahasan
1.                  Indonesia Dalam Pusaran Hukum Agama Islam
Berawal dari penulis melihat studi perbandingan di Negara Arab Saudi dan Negara Indonesia. Penulis beranjak pada pemikiran melihat kedua Negara tersebut adalah Negara yang memiliki populasi masyarakat muslim terbesar di dunia. Sehingga bisa jadi hukum islam yang berdasarkan Al-Quran dan Hadist menjadi panutan. Di dalam hukum pidana sendiri, di Arab Saudi yang menggunakan konsep Negara yang dicampuradukan dengan Negara ketika terjadi suatu kejahatan yang dilarang dalam Al-Quran, misalnya saja tidak boleh mencuri, tidak boleh membunuh, tidak boleh berzina, dan lain-lain. Sudah jelas hukum mencuri di wilayah di Negara Arab Saudi dilakukan dengan potong tangan. Hal tersebut jelas ada di al-Quran dalam surat Al-Maidah (5) : 38 yang berbunyi : “Laki-Laki maupun Perempuan, jika ia mencuri, potonglah tangannya.”. Melihat dari sanksi potong tangan tersebut memberikan dampak bahwa tingkat kriminalitas di Arab Saudi mengecil dibandingkan dengan Negara lain yang menerapkan sanksi pidana penjara.
Hukum Islam memiliki dua dimensi yang terkandung yaitu dimensi abstrak dan konkret. Wujud dari dimensi abstrak adalah segala perintah dn larangan Allah serta rasulnya dan dimensi konkret wujudnya adalah tingkah laku manusia. Bukan hanya itu saja, di dalam hukum islam juga akan kaya substansi yang berinternalisasi dan terinstutisionalisasi dalam berbagai pranata sosial di kehidupan masyarakat islam dan masyarakat Indonesia.[1] Oleh karena itu hukum islam kini menjadi hukum yang hidup dan berkembang dan berlaku serta dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia disamping undang-undang tertulis.[2]
Dalam perkembangan dan pengkajian hukum islam di Indonesia, terdapat beberapa teori yang menjadi landasan berlakunya hukum islam di Indonesia. Adapun teori-teori tersebut diantaranya adalah :
a.       Teori ajaran Islam tentang hukum Islam
Dari teroi ini tersirat bahwa Islam mengajarkan kepada para pemeluknya yang berhukum pada hukum islam seperti yang disebutkan dalam firman Allah (1:5) yang didalamnya menggambarkan permohonan bagi orang Islam untuk berjalan di jalan yang lurus termasuk di bidang hukum.[3]
b.      Teori penerimaan otoritas hukum
Teori ini telah disepakati oleh seluruh imam dalam mahzab hukum islam dimana di dalamnya menegaskan bahwa siapapun yang telah menyatakan dirinya sebagai orang islam dengan mengucap 2 kalimat syahadat maka ia akan terikat dan patuh serta taat kepada hukum dan ajaran islam.[4] Artinya secara sosiologis, orang-orang yang sudah beragama Islam menerima otoritas hukum Islam yaitu taat kepada hukum islam.
c.       Teori Receptie In Complexiu / Penerimaan hukum islam sepenuhnya
Teori ini dikemukakan oleh Loedewijk Willm Cristian Van Den Berg (1845-1927), yang menyatakan bahwa bagi orang islam sepenuhnya berlaku penuh hukum islam karena ia telah memeluk agama islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.[5] Teori ini muncul pada tanggal 25 Mei1876 yang oleh Belanda dituangkan dalam bentuk peraturan Resolutie der IndischeRegeering yang pada tahun 1885nya oleh Belanda kembali diberikan dasar hukumnya dalam Regeering Regalement.[6]
d.      Teori Receptie / Penerimaan hukum Islam oleh hukum adat
Teori ini mengandung pengertian bahwa hukum islam berlaku apabila diterima dan dikehendaki oleh hukum adat. Dengan kata lain teori ini menegaskan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat dan hukum Islam berlaku jika telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini dikemukakan oleh Cristian Snouck Hourgronye yang kemudian dikembangkan oleh Van Vollen Hoven dan Teer Har.
e.       Teori Receptie A Contrario
Teori ini secara harafiah merupakan lawan dari teori Receptie dimana menurut teori ini hukum adat berlaku bagi setiap orang islam bila hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan hukum islam. Teori ini dipopulerkan oleh Haazairin yang kemudian dikembangkan lagi oleh Sayuti Thalib.[7]
            Dari penjelasan di atas maka jelaslah melihat mengenai sejarah dan dasar teori berlakunya hukum Islam di Indonesia yang sampai saat ini keberadaan hukum islam itu sendiri masih tetap diakui sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia dan hukum islam secara positif eferechthelijki maupun kenyataan social merupakan salah satu system hukum yang berlaku dan diakui di Indonesia disamping hukum adat.
            Terkait dengan berlakunya hukum Islam di Indonesia secara formal apabila kita cermati dalam perundang-undangan di Indonesia, terdapat 3 pilar UU bagi berlakunya hukum Islam di Indonesia yaitu, UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama.
            Pada era reformasi ini pula terdapat beberapa kebijakan-kebijakan yang didalamnya mengakui adanya hukum Islam di Indonesia, dimana kebijakan tersebut dapat terlihat  dalam TAP MPR NO.IV/MPR/1999 Bab IV Butir a.2 yang menyatakan :
”Menata system hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama, hukum adat, serta memperbaharuhi perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.”
Maka dari pernyataan tersebut jelas sekali bahwa hukum islam merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia dan dalam perkembangan hukum nasional terlihat jelas bahwa hukum islam memiliki andil yang besar dalam mewujudkan hukum nasional.
2.      Indonesia Dalam Pemisahan Antara Negara dan Agama Islam.
Berangkat dari pemikiran konsep agama, dalam pandangan Walzer ialah kenyataan bahwa di Indoenesia, agama/keyakinan memainkan peranan yang sangat penting dan acap kali menjadi fokus perdebatan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Menjadi pokok perdebatan ialah pertayaan apakah dan sejauh mana kelompok-kelomok masyarakat atas dasar keyakinan keagamaan mereka berwenang merumuskan ketentuan hukum pidana ? Indonesia secara formal membedakan antara kelompok-kelompok masyarakat atas dasar keyakinan keagamaan mereka berwenang merumuskan ketentuan pidana. Indonesia secara formal membedakan antara kelompok etnis dengan kelompok keagamaan. Ketentuan Pasal 18 (2) UUD 1945 berbicara mengeanai kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Kelompok-kelompok religious mendapatkan kebebasan mereka beranjak dari kemerdekaan untuk memeluk agama (Dalam Pasal 29 ayat 2), kebebasan menyakini kepercayaan (Pasal 28E Ayat 2) dan kebebasan berserikat dan berkumpul (Pasal 28 dan 28E Ayat 3). Kesemua itu sejatinya adalah hak-hak individual, hal mana membuat kedudukan/posisi kelompok-kelompok keagamaan sepanjang otonom menjadi lemah.
Pada lain pihak, Negara menjamin keberadaan peradilan agama (Pasal 24 ayat 2 UUD 1945). Secara umum, kendati begitu, peradilan agama tersebut tidak memiliki kompetensi (yurisdiksi) memeriksa perkara perkara-perkara hukum pidana, terkecuali (antara lain) Aceh. Pengadilan agama di Aceh memiliki kewenangan memeriksa dan memutus perkara-perkara pidana berkenaan dengan perbuatan-perbuatan seperti zinah, judi dan jual-beli serta konsumsi minuman mengandung alcohol. Landasan  hukum dari kewenangan tersebut dapat kita temukan dalam peraturan daerah.[8], hal mana menyulitkan pengawasan oleh pemerintah pusat (Undang-Undang Dasar tidak menyentuh persoalan ini). Di tempat-tempat lain, hukum agama mempengaruhi hukum adat dan dengan cara demikian juga mempengaruhi hukum adat dan dengan cara demikian juga mempengaruhi hukum pidana[9]. Maka itu terbuka pula peluang bahwa masyarakat lokal dengan merujuk pada ketentuan Pasal 18B ayat 2 di atas merumuskan ketentuan pidana yang secara formil mengejahwantahkan nilai-nilai hukum adat, namun factual dilandaskan pada norma-norma hukum agama (syariah). Dengan cara itulah, hukum agama dapat mempengaruhi pembentukan hukum pidana.[10]
Seberapa jauh kewenangan membuat (merumuskan dan memberlakukan) ketentuan pidana yang terinspirasi keyakinan religious (hukum agama) dapat dibatasi dan dikendalikan sangat tergantung pada bagaimana Negara bersikap terhadap agam/keyakinan yang dianut masyarakat. Apabila Negara memandang religi sebagai bagian dari identitas nasional (bangsa), maka semakin besar ruang yang terbuka bagi kelompok-kelompok religious. Maka semakin besar terbuka bagi kelompok-kelompok religious. Sebaliknya bila Negara memandang agama/keyakinan sebagai urusan pribadi atau hak individual sebagaimana terimplikasi dri Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 29), maka setidaknya dalamtataran teori semakin kecil kemungkinan memberlakukan hukum pidana berlandaskan syariah. Kendati begitu, dalam praktiknya pemerintah pusat berhdapan dengan persoalan diatas bersikap ambigu. Kelompok-kelompok minoritas, berhadapan dengan keraguan yang terkesan bertentangan dengan apa yang ditulis di dalam UUD. Pada lain pihak, ternyata di Indonesia ada persinggungan dan pencampuran kelompok etnis dan kelompok agama, dan tidak dapat dihindari bahwa hukum Islam atau Syariah (untuk sebahagiaan) masuk ke dalam ketentuan-ketentuan pidana yang ditemukan dalam ragam peraturan daerah. Dari sudut pandang internasional, praktik demikian terkesan tidak salah; ketentuan pasal 27 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik memberikan ruang bagi kelompok-kelompok minoritas keagaman tertentu (religious minoritie) untuk menyelenggarakan dan menata kehidupan mereka atas dasar keyakinan agamanya. Juga dapat dikatakan bahwa UUD 1945 justru memberikan kebebasan yang sangat dan terlalu sempit kepada kelompok-kelompok religus. Beberapa dari kelompok demikian berhasil mengatasi pembatas tersebut.
Di sini pertanyaan yang masih dan terus muncul ialah apakah aturan-aturan hukum yang diambil dari hukum islam (syariah) boleh dimunculkan dalam atau diberlakukan melalui peraturan daerah. Berkenaan dengan ancaman sanksi, hal mana banyak diperdebatkan, jelas dapat kita tenggarai adanya ketegangan dengan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), terutama larangan penyiksaan  (Pasal 7). Terkait dengan persoalan apakah pemberlakuan ketentuan pidana kelompok minoritas dapat didorong dan dipaksa menerima nilai-nilai (padangan) liberal. Semakin eksplisit pertanyaan di atas dijawab secara positif (kelompok minoritas dapat dipaksa menerima pandangan liberal), semakin kecil ruang terbuka bagi pelarangan judi, mengonsumsi alcohol atau pemberlakuan kewajiban pengenaan jilbab dengan ancaman pidana. Sebaliknya semakin kecil nilai-nilai liberal dihargai dan dianut, semakin besar peluang memunculkan perundang-undangan yang menganam dengan sanksi semua perbuatan yang dilarang agama. Terbayangkan bahwa hubungan seksual sesame jenis akan serta merta dilarang dan dikatikan pula ancama pidana terhadap tatacara berpakaian perempuan.[11] Berkenaan dengan itu, telah disinggung pula asas kesetaraan (persamaan) dapat turur berperan menjawab persoalan ketentuan pidana diperlukan (untuk melarang suatu perbuatan dan memberlakukannya secara umum). Juga tanpa terlalu menekannkan peranan nilai-nilai liberal, seyogyanya wajar mempertimbangkan kemungkinan bahwa kebeasan beragama/berkeyakinan (yang diwujudkan melalui perumusan ketentuan pidana) harus mengalah bila berbentuan dengan asas kesetaraan/persamaan dan keadilan.

C.    Penutup

Di Indonesia ada persinggungan dan pencampuran kelompok etnis dan kelompok agama, dan tidak dapat dihindari bahwa hukum Islam atau Syariah (untuk sebahagiaan) masuk ke dalam ketentuan-ketentuan pidana yang ditemukan dalam ragam peraturan daerah. Dari sudut pandang internasional, praktik demikian terkesan tidak salah; ketentuan pasal 27 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik memberikan ruang bagi kelompok-kelompok minoritas keagaman tertentu (religious minoritie) untuk menyelenggarakan dan menata kehidupan mereka atas dasar keyakinan agamanya. Juga dapat dikatakan bahwa UUD 1945 justru memberikan kebebasan yang sangat dan terlalu sempit kepada kelompok-kelompok religus. Beberapa dari kelompok demikian berhasil mengatasi pembatas tersebut.
Hukum islam merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia dan dalam perkembangan hukum nasional terlihat jelas bahwa hukum islam memiliki andil yang besar dalam mewujudkan hukum nasional. Berkenaan dengan itu, telah disinggung pula asas kesetaraan (persamaan) dapat turur berperan menjawab persoalan ketentuan pidana diperlukan (untuk melarang suatu perbuatan dan memberlakukannya secara umum). Juga tanpa terlalu menekannkan peranan nilai-nilai liberal, seyogyanya wajar mempertimbangkan kemungkinan bahwa kebeasan beragama/berkeyakinan (yang diwujudkan melalui perumusan ketentuan pidana) harus mengalah bila berbentuan dengan asas kesetaraan/persamaan dan keadilan.


[1] Rachman Lathief dalam Arema Hukum No. 18, 5 Nov 2012, Malang, hlm.10
[2] Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), hlm. 52.
[3] Arema Hukum, No.18, Tahun : 1002, 2 Nov 2002, hlm. 13
[4] Ichtijanto, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 1995), hal. 74.
[5] Sayuti Thalib, Receptie a Contatio (Hukbungan antara hukum adat dan hukum islam), (Jakarta : Academica, 1980), hlm.7.
[6] Ichtijianto, Hukum Islam, hlm. 114
[7] Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Pusat Penerbitan Universitas Islam Bandung, 1995), hlm. 136.
[8] Bey F, Three Most Important Features of Indonesia Legal System that Others Should Understand. Paper delivered at the IALS Conference : Learning from Each Other : Enriching the Law School Curriculum in an Interrleated World, 2007, hlm. 115-117.
[9] Haveman R.H. The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia. (Jakarta, Tata Nusa, 2007), hlm. 85.
[10] Siregar, H.B., Islamic Law in a National Legal System : A Study om Implementation of Sharia’ah in Aceh, Indonesia. Asian Journal of Comparative Law, 2008, 3(1), article 4.
[11] Allen P, Challenging Diversity ? Indonesia’s Anti-Pornography Bill. Asian Studies Review, 31, 2007, hlm. 101-115.