Abstrak
Indonesia merupakan Negara yang memiliki
macam ragam budaya, suku, ras, golongan dan agama. Dalam hal agama sendiri,
Indonesia memiliki 5 agama yang diyakini yakni, Islam, Kristen, Katholik,
Budha, dan Hindu. Setiap warga Negara berhak untuk memeluk agama dan
kepercayaannya masing-masing. Hal ini tidak terlepas dari peran Negara dalam
melindungi hak-hak warga Negara yang memeluk agamanya masing-masing, maka dalam
hal ini pentingnya sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal
yang berkaitan dengan agama.
Indonesia merupakan Negara muslim
terbesar di dunia dengan presentase 88,1 % atau sebanyak 255.461.700 jiwa.
Indonesia juga memiliki suku, budaya, dan agama yang beragam sehingga Indonesia
merupakan Negara yang menganut pancasila salah satunya mengakui bahwa ketuhanan
yang maha esa yang artinya Indonesia tidak terlepas dari ketuhanan ataupun
agama. Banyaknya perdebatan yang timbul apakah Negara Indonesia ini Negara yang
menganut islam karena dilihat dari penduduknya atau Negara yang menganut pancasila
? Berbagai kasus yang menyangkut tentang keagamaan sering terjadi dan dari
tahun 1965 sudah ada peraturan mengenai pasal penodaan agama, yang pada intinya
adalah barang siapa dengan sengaja menebar kebencian, penodaan, penyalahgunaan
suatu agama di muka umum, maka dikenai hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
Kata
Kunci : Perbandingan, Kebijakan Hukum Pidana, Hukum Islam.
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan penganut
atas pancasila nya yang kuat, melihat Nilai pancasila sebagai sumber hukum
Indonesia, dimana mempunyai tujuan untuk menegakkan hubungan keserasian nilai
di dalam masyarakat. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa nilai-nilai didalam
pancasila ada nilai spiritualisme, nilai kerakyatan, nilai persatuan dan nilai
keadilan. Pancasila terdiri dari sistem nilai dimana yang mampu mendirikan
sebagaimana mempertahankan hubungan keserasian nilai di dalam masyarakat.
Keserasian nilai antinomi dalam Pancasila merupakan sesuatu yang layak sebagai
sumber hukum Indonesia, sebagai sarana untuk menegakkan sebagaimana sebaiknya
mempertahankan hubungan keserasian nilai di dalam masyarakat. Menurut A.
Brotosusilo dalam perkuliahan filsafat hukum yang diberikan pada semester 1
sebelumnya, Pancasila bukan grundnorm, tetapi Pancasila merupakan turunan dari
nilai-nilai filosofis yang ada di dalam masyarakat di Indonesia. Masyarakat
lebih memiliki nilai gotong royong, nilai kerakyatan, nilai keadilan, dan nilai
spiritualisme. Semua nilai-nilai tersebut dituangkan ke dalam dasar hukum yakni
Pancasila.
Nilai-nilai
pancasila lebih mengarah ke hukum adat, dimana pancasila merupakan dasar
pondasi filosofi dari konstitusi UUD 1945, berdasarkan Nusantara (lalu yang
disebut Negara kepulauan Indonesia), nilai kebudayaan, adalah kristalisasi dari
kelima sila pancasila. Pancasila ada di dalam hukum adat sebagai keserasian
yang terjalin menjadi prespektif kebudayaan Indonesia. Mengambil teori dari
Savigny, baginya sistem hukum merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat.
Hukum bukan suatu hasil pengadilan atau hasil dari pembuat undang-undang tetapi
berkembang sebagai suatu respon terhadap kekuatan impersonal yang ditemukan
pada semangat nasional rakyat (Volkgeist).
Di
samping itu juga, Negara Indonesia menganut Hak Asasi Manusianya yang kuat
berlandaskan pada ajaran Pancasila pada sila ketiga, yakni kemanusian yang adil
dan beradab. Jika dilihat dari segi pemidanaan di Indonesia merujuk pada KUHP
yakni pidana penjara, pidana denda, hingga pidana mati. Tentunya pemidaan
tersebut tidak berlaku semua untuk pidana yang ada di hukum positif di Indonesia
namun juga adanya pertimbangan-pertimbangan hakim untuk menentukan pidana
seperti apa yang pantas bagi pelaku kejahatan. Tidak sampai kedalam pemidanaan
saja tapi setelah pemidanaan yang dijatuhkan apakah ada rasa efek jera terhadap
si pelaku tersebut dan tidak melakukan kejahatan lagi ?
Jika
dibandingkan dengan hukum islam yang diterapkan di Arab Saudi salah satunya.
Negara tersebut menganut ajaran Al-Quran dan Hadist sebagai landasan hukumnya,
seperti mencuri. Mencuri di Negara Arab Saudi dilakukan dengan cara potong
tangan. Hal tersebut jelas ada di al-Quran dalam surat Al-Maidah (5) : 38 yang
berbunyi : “Laki-Laki maupun Perempuan, jika ia mencuri, potonglah tangannya.”.
Tidak heran jika Negara Arab Saudi yang sebagian dari masyarakatnya kehilangan
tangan karena pernah mencuri. Maka, di Negara Arab Saudi selain merupakan salah
satu Negara terkaya di dunia, masyarakatnya menerapkan sistem zakat, bagi orang
kaya yang mampu maka sebagian harta nya dibagikan ke orang-orang miskin.
Penerapan sistem hukum islam tersebut memberikan dampak sebuah efek jera dari
pemidanaan itu sendiri jika mencuri akan dipotong tangannya setelah itu tidak
akan mencuri lagi, selain itu zakat yang diterapkan mengurangi dampak
kemiskinan yang terjadi bahkan mengurangi angka kriminalisasi di Negara
tersebut. Pertanyaannya adalah, Bagaimana
konsep hukum agama jika dicampuradukan dengan Negara serta bagaimana pula jika
dipisahkan dengan Negara ?
B. Pembahasan
1.
Indonesia Dalam Pusaran Hukum Agama Islam
Berawal dari
penulis melihat studi perbandingan di Negara Arab Saudi dan Negara Indonesia.
Penulis beranjak pada pemikiran melihat kedua Negara tersebut adalah Negara
yang memiliki populasi masyarakat muslim terbesar di dunia. Sehingga bisa jadi
hukum islam yang berdasarkan Al-Quran dan Hadist menjadi panutan. Di dalam
hukum pidana sendiri, di Arab Saudi yang menggunakan konsep Negara yang
dicampuradukan dengan Negara ketika terjadi suatu kejahatan yang dilarang dalam
Al-Quran, misalnya saja tidak boleh mencuri, tidak boleh membunuh, tidak boleh
berzina, dan lain-lain. Sudah jelas hukum mencuri di wilayah di Negara Arab
Saudi dilakukan dengan potong tangan. Hal tersebut jelas ada di al-Quran dalam
surat Al-Maidah (5) : 38 yang berbunyi : “Laki-Laki maupun Perempuan, jika ia
mencuri, potonglah tangannya.”. Melihat dari sanksi potong tangan tersebut
memberikan dampak bahwa tingkat kriminalitas di Arab Saudi mengecil
dibandingkan dengan Negara lain yang menerapkan sanksi pidana penjara.
Hukum Islam
memiliki dua dimensi yang terkandung yaitu dimensi abstrak dan konkret. Wujud
dari dimensi abstrak adalah segala perintah dn larangan Allah serta rasulnya
dan dimensi konkret wujudnya adalah tingkah laku manusia. Bukan hanya itu saja,
di dalam hukum islam juga akan kaya substansi yang berinternalisasi dan
terinstutisionalisasi dalam berbagai pranata sosial di kehidupan masyarakat
islam dan masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu hukum islam kini menjadi hukum yang hidup dan berkembang dan
berlaku serta dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia disamping
undang-undang tertulis.
Dalam
perkembangan dan pengkajian hukum islam di Indonesia, terdapat beberapa teori
yang menjadi landasan berlakunya hukum islam di Indonesia. Adapun teori-teori
tersebut diantaranya adalah :
a.
Teori
ajaran Islam tentang hukum Islam
Dari teroi ini tersirat bahwa Islam mengajarkan kepada para pemeluknya
yang berhukum pada hukum islam seperti yang disebutkan dalam firman Allah (1:5)
yang didalamnya menggambarkan permohonan bagi orang Islam untuk berjalan di
jalan yang lurus termasuk di bidang hukum.
b.
Teori
penerimaan otoritas hukum
Teori ini telah disepakati oleh seluruh imam dalam mahzab hukum islam
dimana di dalamnya menegaskan bahwa siapapun yang telah menyatakan dirinya
sebagai orang islam dengan mengucap 2 kalimat syahadat maka ia akan terikat dan
patuh serta taat kepada hukum dan ajaran islam.
Artinya secara sosiologis, orang-orang yang sudah beragama Islam menerima
otoritas hukum Islam yaitu taat kepada hukum islam.
c.
Teori
Receptie In Complexiu / Penerimaan hukum islam sepenuhnya
Teori ini dikemukakan oleh Loedewijk Willm Cristian Van Den Berg
(1845-1927), yang menyatakan bahwa bagi orang islam sepenuhnya berlaku penuh
hukum islam karena ia telah memeluk agama islam walaupun dalam pelaksanaannya
terdapat penyimpangan-penyimpangan.
Teori ini muncul pada tanggal 25 Mei1876 yang oleh Belanda dituangkan dalam
bentuk peraturan Resolutie der IndischeRegeering yang pada tahun 1885nya oleh
Belanda kembali diberikan dasar hukumnya dalam Regeering Regalement.
d.
Teori
Receptie / Penerimaan hukum Islam oleh hukum adat
Teori ini mengandung pengertian bahwa hukum islam berlaku apabila
diterima dan dikehendaki oleh hukum adat. Dengan kata lain teori ini menegaskan
bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat dan hukum Islam
berlaku jika telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini
dikemukakan oleh Cristian Snouck Hourgronye yang kemudian dikembangkan oleh Van
Vollen Hoven dan Teer Har.
e.
Teori
Receptie A Contrario
Teori
ini secara harafiah merupakan lawan dari teori Receptie dimana menurut teori
ini hukum adat berlaku bagi setiap orang islam bila hukum adat tersebut tidak
bertentangan dengan hukum islam. Teori ini dipopulerkan oleh Haazairin yang
kemudian dikembangkan lagi oleh Sayuti Thalib.
Dari
penjelasan di atas maka jelaslah melihat mengenai sejarah dan dasar teori
berlakunya hukum Islam di Indonesia yang sampai saat ini keberadaan hukum islam
itu sendiri masih tetap diakui sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia dan
hukum islam secara positif eferechthelijki
maupun kenyataan social merupakan salah satu system hukum yang berlaku dan
diakui di Indonesia disamping hukum adat.
Terkait
dengan berlakunya hukum Islam di Indonesia secara formal apabila kita cermati
dalam perundang-undangan di Indonesia, terdapat 3 pilar UU bagi berlakunya
hukum Islam di Indonesia yaitu, UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan
Kehakiman, UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan UU No.7 Tahun 1989
Tentang Pengadilan Agama.
Pada
era reformasi ini pula terdapat beberapa kebijakan-kebijakan yang didalamnya
mengakui adanya hukum Islam di Indonesia, dimana kebijakan tersebut dapat
terlihat dalam TAP MPR NO.IV/MPR/1999
Bab IV Butir a.2 yang menyatakan :
”Menata system hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan
mengakui dan menghormati hukum agama, hukum adat, serta memperbaharuhi
perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif,
termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi
melalui program legislasi.”
Maka dari pernyataan
tersebut jelas sekali bahwa hukum islam merupakan salah satu sumber hukum di
Indonesia dan dalam perkembangan hukum nasional terlihat jelas bahwa hukum
islam memiliki andil yang besar dalam mewujudkan hukum nasional.
2. Indonesia
Dalam Pemisahan Antara Negara dan Agama Islam.
Berangkat dari
pemikiran konsep agama, dalam pandangan Walzer ialah kenyataan bahwa di
Indoenesia, agama/keyakinan memainkan peranan yang sangat penting dan acap kali
menjadi fokus perdebatan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Menjadi
pokok perdebatan ialah pertayaan apakah dan sejauh mana kelompok-kelomok
masyarakat atas dasar keyakinan keagamaan mereka berwenang merumuskan ketentuan
hukum pidana ? Indonesia secara formal membedakan antara kelompok-kelompok
masyarakat atas dasar keyakinan keagamaan mereka berwenang merumuskan ketentuan
pidana. Indonesia secara formal membedakan antara kelompok etnis dengan
kelompok keagamaan. Ketentuan Pasal 18 (2) UUD 1945 berbicara mengeanai
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Kelompok-kelompok religious mendapatkan kebebasan mereka beranjak dari
kemerdekaan untuk memeluk agama (Dalam Pasal 29 ayat 2), kebebasan menyakini
kepercayaan (Pasal 28E Ayat 2) dan kebebasan berserikat dan berkumpul (Pasal 28
dan 28E Ayat 3). Kesemua itu sejatinya adalah hak-hak individual, hal mana
membuat kedudukan/posisi kelompok-kelompok keagamaan sepanjang otonom menjadi
lemah.
Pada lain pihak,
Negara menjamin keberadaan peradilan agama (Pasal 24 ayat 2 UUD 1945). Secara
umum, kendati begitu, peradilan agama tersebut tidak memiliki kompetensi
(yurisdiksi) memeriksa perkara perkara-perkara hukum pidana, terkecuali (antara
lain) Aceh. Pengadilan agama di Aceh memiliki kewenangan memeriksa dan memutus
perkara-perkara pidana berkenaan dengan perbuatan-perbuatan seperti zinah, judi
dan jual-beli serta konsumsi minuman mengandung alcohol. Landasan hukum dari kewenangan tersebut dapat kita
temukan dalam peraturan daerah.,
hal mana menyulitkan pengawasan oleh pemerintah pusat (Undang-Undang Dasar
tidak menyentuh persoalan ini). Di tempat-tempat lain, hukum agama mempengaruhi
hukum adat dan dengan cara demikian juga mempengaruhi hukum adat dan dengan
cara demikian juga mempengaruhi hukum pidana.
Maka itu terbuka pula peluang bahwa masyarakat lokal dengan merujuk pada
ketentuan Pasal 18B ayat 2 di atas merumuskan ketentuan pidana yang secara
formil mengejahwantahkan nilai-nilai hukum adat, namun factual dilandaskan pada
norma-norma hukum agama (syariah). Dengan cara itulah, hukum agama dapat
mempengaruhi pembentukan hukum pidana.
Seberapa jauh
kewenangan membuat (merumuskan dan memberlakukan) ketentuan pidana yang
terinspirasi keyakinan religious (hukum agama) dapat dibatasi dan dikendalikan
sangat tergantung pada bagaimana Negara bersikap terhadap agam/keyakinan yang
dianut masyarakat. Apabila Negara memandang religi sebagai bagian dari
identitas nasional (bangsa), maka semakin besar ruang yang terbuka bagi
kelompok-kelompok religious. Maka semakin besar terbuka bagi kelompok-kelompok
religious. Sebaliknya bila Negara memandang agama/keyakinan sebagai urusan
pribadi atau hak individual sebagaimana terimplikasi dri Undang-Undang Dasar
1945 (Pasal 29), maka setidaknya dalamtataran teori semakin kecil kemungkinan
memberlakukan hukum pidana berlandaskan syariah. Kendati begitu, dalam
praktiknya pemerintah pusat berhdapan dengan persoalan diatas bersikap ambigu.
Kelompok-kelompok minoritas, berhadapan dengan keraguan yang terkesan
bertentangan dengan apa yang ditulis di dalam UUD. Pada lain pihak, ternyata di
Indonesia ada persinggungan dan pencampuran kelompok etnis dan kelompok agama,
dan tidak dapat dihindari bahwa hukum Islam atau Syariah (untuk sebahagiaan)
masuk ke dalam ketentuan-ketentuan pidana yang ditemukan dalam ragam peraturan
daerah. Dari sudut pandang internasional, praktik demikian terkesan tidak
salah; ketentuan pasal 27 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik memberikan ruang bagi kelompok-kelompok minoritas keagaman tertentu (religious minoritie) untuk
menyelenggarakan dan menata kehidupan mereka atas dasar keyakinan agamanya.
Juga dapat dikatakan bahwa UUD 1945 justru memberikan kebebasan yang sangat dan
terlalu sempit kepada kelompok-kelompok religus. Beberapa dari kelompok
demikian berhasil mengatasi pembatas tersebut.
Di sini
pertanyaan yang masih dan terus muncul ialah apakah aturan-aturan hukum yang
diambil dari hukum islam (syariah) boleh dimunculkan dalam atau diberlakukan
melalui peraturan daerah. Berkenaan dengan ancaman sanksi, hal mana banyak
diperdebatkan, jelas dapat kita tenggarai adanya ketegangan dengan Konvensi
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), terutama larangan
penyiksaan (Pasal 7). Terkait dengan
persoalan apakah pemberlakuan ketentuan pidana kelompok minoritas dapat
didorong dan dipaksa menerima nilai-nilai (padangan) liberal. Semakin eksplisit
pertanyaan di atas dijawab secara positif (kelompok minoritas dapat dipaksa
menerima pandangan liberal), semakin kecil ruang terbuka bagi pelarangan judi,
mengonsumsi alcohol atau pemberlakuan kewajiban pengenaan jilbab dengan ancaman
pidana. Sebaliknya semakin kecil nilai-nilai liberal dihargai dan dianut,
semakin besar peluang memunculkan perundang-undangan yang menganam dengan
sanksi semua perbuatan yang dilarang agama. Terbayangkan bahwa hubungan seksual
sesame jenis akan serta merta dilarang dan dikatikan pula ancama pidana
terhadap tatacara berpakaian perempuan.
Berkenaan dengan itu, telah disinggung pula asas kesetaraan (persamaan) dapat
turur berperan menjawab persoalan ketentuan pidana diperlukan (untuk melarang
suatu perbuatan dan memberlakukannya secara umum). Juga tanpa terlalu
menekannkan peranan nilai-nilai liberal, seyogyanya wajar mempertimbangkan
kemungkinan bahwa kebeasan beragama/berkeyakinan (yang diwujudkan melalui
perumusan ketentuan pidana) harus mengalah bila berbentuan dengan asas
kesetaraan/persamaan dan keadilan.
C. Penutup
Di Indonesia ada
persinggungan dan pencampuran kelompok etnis dan kelompok agama, dan tidak
dapat dihindari bahwa hukum Islam atau Syariah (untuk sebahagiaan) masuk ke
dalam ketentuan-ketentuan pidana yang ditemukan dalam ragam peraturan daerah.
Dari sudut pandang internasional, praktik demikian terkesan tidak salah;
ketentuan pasal 27 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik
memberikan ruang bagi kelompok-kelompok minoritas keagaman tertentu (religious minoritie) untuk
menyelenggarakan dan menata kehidupan mereka atas dasar keyakinan agamanya.
Juga dapat dikatakan bahwa UUD 1945 justru memberikan kebebasan yang sangat dan
terlalu sempit kepada kelompok-kelompok religus. Beberapa dari kelompok
demikian berhasil mengatasi pembatas tersebut.
Hukum islam
merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia dan dalam perkembangan hukum
nasional terlihat jelas bahwa hukum islam memiliki andil yang besar dalam
mewujudkan hukum nasional. Berkenaan dengan itu, telah disinggung pula asas
kesetaraan (persamaan) dapat turur berperan menjawab persoalan ketentuan pidana
diperlukan (untuk melarang suatu perbuatan dan memberlakukannya secara umum).
Juga tanpa terlalu menekannkan peranan nilai-nilai liberal, seyogyanya wajar
mempertimbangkan kemungkinan bahwa kebeasan beragama/berkeyakinan (yang
diwujudkan melalui perumusan ketentuan pidana) harus mengalah bila berbentuan
dengan asas kesetaraan/persamaan dan keadilan.