Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia,
seorang konsumen apabila dirugikan didalam menggunakan barang atau jasa dapat
menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak disini bisa berarti produsen/pabrik,
supplier, pedagang besar, pedagang eceran/ penjual ataupun pihak yang
memasarkan produk; tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan
perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen, bahkan kematian. Kualifikasi
gugatan yang lazim digunakan diberbagai Negara, termasuk Indonesia, adalah
wanprestasi (default) atau perbuatan
melawan hukum.
Prinsip product
liability merupakan instrument hukum yang dimaksudkan untuk memberikan
jaminan terhadap hak-hak konsumen, khususnya terhadap hak atas keselamatan,
kesehatan, dan hak untuk mendapatkan ganti kerugian. Instrumen ini diperlukan
karena pengaturan di bidang cara berproduksi (quality control techniques) dan perdagangan barang, belum memadai
untuk mencegah atau menghindari serta melindungi konsumen yang menderita
kerugian, baik kerugian berupa cacat atau kerusakan pada tubuh konsumen, maupun
kerusakan pada harta benda lain, maupun kerusakan yang berkaitan produk itu
sendiri, sehingga di damping peraturan mengenai cara berproduksi, masih perlu
dibutuhkan instrument hukum lain yang secara khusus menjamin perolehan ganti
kerugian akibat mengonsumsi suatu produk, (product
liability).[1]
Tanggung jawab produk (Product liability) merupakan suatu istilah terjemahan dari istilah
asing “Product(s) Liability”
(Inggris) dan istilah “product
aansprakelijkheid” (Belanda). Ada pula yang menerjemahkan menjadi “tanggung
jawab produsen” dari istilah Jerman “produzenten
hafting”. Tanggung jawab produk dalam arti bahasa Indonesia yang sudah umum
dipakai oleh masyarakat awam dan para sarjana hukum secara teoritis dan
praktisi untuk pengertian “responsibility”
maupun pengertian “liability”.
Prof. Gautama dalam konvensi di Den Haag tahun 1972
juga membicarakan tentang tanggung jawab produk, namun pada konvesi tersebut,
beliau tidak memberikan terjemahan atau istilah untuk hal tersebut. Secara
bergantian dipakai istilah “product
liability” dan “Tanggung jawab untuk hasil produksi” juga “tanggung jawab
produsen terhadap hasil produksinya”.[2]
Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi
perbuatan melawan hukum (tort), hubugan kontraktual tidaklah disyaratkan.
Dengan kualifikasi gugatan ini, konsumen sebagai penggugat harus membuktikan
unsur-unsur :[3]
a.
Adanya
perbuatan melawan hukum;
b.
Adanya
kesalahan/kelalaian pelaku usaha;
c.
Adanya
kerugian yang dialami konsumen;
d.
Adanya
hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami
konsumen.
Sebenarnya dalam kasus terkait prinsip tanggung jawab
mutlak pelaku usaha dapat dipertanyakan tentang intervensi pemerintah dalam
memberikan jaminan terhadap hak-hak konsumen, khususnya terhadap keselamatan
dan kesehatan, dan hak untuk mendapatkan ganti rugi, baik itu cacat atau
kerusakan pada tubuh konsumen (bodily/
personal injury), maupun kerusakan yang berkaitan dengan produk itu sendiri
(pure economic loss).[4]
Terminologi “product
liability” masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di Indonesia. Ada
yang menerjemahkannya sebagai “tanggung gugat produk”[5].
Guna memudahkan pembahsan, penulis akan lebih banyak menggunakan istilah
aslinya tanpa mengurangi makna dan substansinya.
Dalam Black’s
Law Dictionary, terdapat 3 rumusan mengenai Product Liability, yaitu :[6]
a.
A manufacture’s or seller’s tort liability for any
damages or injuries suffed by a buyer, user, or bystander as a result of a
defective product. Product liability can be based on a theory of negligence,
“strict liability”, or breach of warranty.
b.
The legal theory by “which liability is imposed on the
manufacturer or seller of a defective product.
c.
Refers to the legal liability of manufactures and
sellers to compensate buyers, users and even bystanders, for demages or
injuries suffers becaused of defects in goods purchased.
Konsep product liability masih
merupakan hal baru bagi Indonesia. Penerapan konsep ini dibidang produk medis
di Negara maju masih tergolong baru.[7]
Dalam membicarakan konsep ini sebagian literature hukum merujuk pada “The Thalidomide Tragedy”[8]
Prinsip tanggung jawab produk mutlak (strict product liability) merupakan
prinsip tanggung jawab yang tidak didasarkan pada aspek kesalahan (fault negligence) dan hubungan kontrak (privity of contract), tetapi didasarkan
pada cacatnya produk (objective liability)
dan risiko atau kerugian yang diderita konsumen (risk based liability). Dikatakan bahwa tujuan utama dari prinsip
tanggung jawab mutlak adalah jaminan atas konsenkuensi atau akibat hukum dari
suatu produk yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen.[9]
Menurut Inosentius Samsul seorang dosen hukum perlindungan
konsumen di Universitas Indonesia, menyatakan bahwa persyaratan hubungan
kontrak sama sekali tidak melindungi konsumen yang tidak secara langsung
berhubungan dengan produsen (remote
seller) dan menjadi salah satu hambatan bagi konsumen yang mengalami
kerugian untuk menuntut haknya. Sebaliknya, persyaratan hubungan kontrak
mempersempit tanggung jawab produsen, karena konsumen yang mempunyai hak untuk
menggugat terbatas pada konsumen yang mempunyai hubungan langsung dengan
produsen. Padahal dalam kehidupan sehari-hari justru keadaan seperti ini yang
sering terjadi, dan bahkan konsumen yang menjadi korban lebih banyak orang yang
bukan pembeli atau mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan produsen.[10]
Tanggung jawab produk ini termasuk ke dalam
perbuatan melanggar hukum tetapi ditambahkan dengan tanggung jawab mutlak (strict
liability), tanpa melihat apakah ada unsure kesalahan pada pihak pelaku.
Dalam penerapan tanggung jawab produk ini, pelaku usaha pembuat produk atau
yang dipersamakan dengannya, dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada
konsumen pemakai produk, kecuali dapat dibuktikan keadaan sebaliknya, bahwa
kerugian yang terjai tidak dapat dipersalahkan kepadanya.[11]
Sumber :
Inosentius Samsul, Buku Perlindungan Konsumen : Kemungkinan
Penerapan Tanggung Jawab Mutlak
J. Guwandi, Buku Tindakan Medik dan Tanggung Jawab
Produk Medik
Yusuf Shofie : “Product Liability Dalam
Institusi Hukum Ekonomi: suatu Kajian Ius Constitundum”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan UI
Az. Nasution, dkk : Buku Naskah Akademik
Peraturan Perundang-Undangan dalam hal Makanan dan Minuman
[1] Inosentius Samsul, Perlindungan
Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, hal. 22.
[3] Yusuf Shofie, “Product Liability
Dalam Institusi Hukum Ekonomi: suatu Kajian Ius Constitundum”, Jurnal Hukum dan Pembangunan UI, (Juli-September
1999), hal. 254.
[5] Az. Nasution, dkk, Naskah
Akademik Peraturan Perundang-Undangan dalam hal Makanan dan Minuman,
(Jakarta : BPHN, 1994), hal. 44.
[7] Untuk memahami Product Liability di Bidang Medis, liaht : J. Guwandi, Tindakan Medik dan tanggung Jawab Produk
Medik, (Jakarta : FKUI, 1993), hal. 50-60.
[8] Lihat : “Consumer Protection”
dalam C. Hamblin & F.B. Wright, Introduction to Comercial Law, (London :
Sweet & Maxwell, 1988), hal. 201; dan Anwar Fazal & Rajeswari Kanniah,
The A to Z Consumer Movement (Penan, Malaysia : IOCU, 1988), hal. 59.
[9] Inosentius Samsul, Perlindungan
Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak,, hal. 227.
[10] Inosentius Samsul, Perlindungan
Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, hal. 56.
[11] Berdasarkan prinsip Strict
Liability ganti kerugian bagi konsumen korban produk yang cacat harus
diberikan, tanpa melihat ada atau tidaknya unsure kesalahan pada pelaku usaha.
Produsen bertanggungjawab untuk menghasilkan produk yang tidak cacat yang tidak
membahayakan konsumen. Tanggung jawab langsung atas produk yang cacat untuk
memberikan ganti kerugian kepada konsumen korban timbul dari sifat produk bukan
dari sikap tindak pelaku usaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar