Sejarah
mengenai plea bargaining ini muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, sistem
ini berperan sekali dalam mengatasi kesulitan menangani perkara pidana. Bahkan
pada tahun 1930, pengadilan di Amerika Serikat sudah menggunakan sistem plea
bargaining ini. Pada tahun 1958, Mahkamah Agung Amerika Serikat (Supreme Court
of Justice) bahwa praktik plea bargaining ini adalah sistem yang illegal, Akan
tetapi atas keberatan Departemen of Justice kehendak tersebut tidak
dilaksanakan. Bahkan akhirnya pada tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan bahwa
“plea bargaining was inherent in the criminal law and its administration”
(Brady VS United States, 297 U.S. 742/1970). Hingga saat ini tidak ada
perhatian yang mendalam untuk menghapus sistem plea bargaining ini di Amerika
Serikat oleh karena dengan adanya sistem tersebut nampaknya telah memperoleh
suatu “fair trial” dan “accuracy” dalam perkara pidana.
Berlandasan
pada beberapa batasan plea bargaining dapatlah
disimpulkan sebagai berikut :
1.
Bahwa
plea bargaining ini pada hakikatnya merupakan suatu negoisasi antara pihak
penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya;
2.
Motivasi
negoisasi tersebut yang paling utama ialah untuk mempercepat proses penanganan
perkara pidana
3.
Sifat
negoisasi harus dilandaskan pada ‘kesukarelaan’tertuduh untuk mengakui
kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikan ancaman hukuman yang
dikehendaki tertuduh atau pembelanya;
4.
Keikutsertaan
hakim sebagai wasit yang tidak memihak dalam negoisasi dimkasud tidak
diperkenankan.
Jika melihat dari rancangan
KUHAP (R-KUHAP) di Indonesia yang mencoba memadukan nilai-nilai hukum yang
terdapat dalam sistem hukum civil law
dan sistem hukum common law ditemukan
hal-hal yang baru. Salah satu hal yang baru yang terdapat dalam R-KUHAP adalah
keberadaan lembaga plea guilty.
Keberadaan lembaga plea guilty merupakan slaah satu cirri
khas hukum acara di Negara common law yang
coba dianut dalam R-KUHAP. Lembaga plea
guilty yang dianut dalam R-KUHAP tidak secara mutlah megambil nilai plea bargaining yang ada di Negara
common law. R-KUHAP hanya mengambil sebagian nilai-nilai plea bargaining yang dianggap dapat disesuaikan dengan sistem hukum
Indonesia. Nilai plea bargaining yang
diambil dan dimasukan dalam R-KUHAP adalah nilai plea guilty (pengakuan kesalahan)
Gagasan untuk memasukan
nilai-nilai plea guilty dalam R-KUHAP
didasari bahwa lembaga plea guilty
memiliki nilai lebih yakni dapat lebih menunjang asas peradilan pidana yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan. Di sisi lain, keberadaan lembaga plea guilty banyak menimbulkan
pertanyaan. Pertanyaan tersebut mengenai kedudukan, potensi terjadinya miscarriage of justice (peradilan sesat)
yang ditimbulkan dan peranan dari lembaga plea
guilty dalam R-KUHAP
Jika sekilas kita melihat,
plea bargaining ini merupakan diskresi dari penegak hukum, dalam hal ini adalah
jaksa penuntut umum. Jaksa diberi kewenangan untuk memberikan kesempatan kepada
si tersangka dalam mengakui kesalahannya. Pengakuan tersebut juga menguntungkan
dari pihak jaksa itu sendiri yakni mempermudah dan mempercepat dalam proses
perkara tindak pidana. Dan untuk pihak tersangkanya sendiri, apabila tawaran
ini menguntungkan maka sebaliknya jaksa berwenang untuk memberi reward kepada tersangka yakni
pengurangan hukuman dalam surat dakwaannya.
Sumber
:
Hukum Acara
Pidana Suatu Pengantar Karangan
Prof.Andi Sofyan, S.H.,M.H.
Sistem Peradilan
Pidana Kontemporer Karangan Prof. Romli Atmasasmita,S.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar