Selasa, 11 September 2018

Plea Bargaining System


           
Apakah kalian pernah mendengar bentuk negoisasi atau perundingan yang dilakukan antara jaksa penuntut umum dengan tersangka atau kuasanya dalam praktik penanganan tindak pidana ? perundingan tersebut mengenai tuntutan, dakwaan, tuduhan, dan ancaman apa yang akan digunakan pada saat persidangan kelak. Hal tersebut merupakan suatu pelanggaran hukum jika kita lihat dari pelaksanaannya, namun tidak jika di Amerika Serikat, sistem ini suatu yang legal dan formal dalam sistem peradilan pidana di negara tersebut. Sistem yang dimaksudkan oleh penulis kali ini adalah plea bargaining system. Merupakan suatu bentuk negoisasi (tawar menawar) antara penegak hukum hal ini adalah jaksa penuntut umum dengan tersangka atau kuasanya mengenai dakwaan seperti apa yang akan digunakan dalam persidangan peradilan pidana kelak. Perundingan ini juga membahas mengenai tawar menawar jumlah pengurangan dakwaan yang dilakukan oleh jaksa. Alasan pokok bagi penuntut umum untuk melakukan ‘negoisasi’ disebabkan atas dua hal : pertama, karena jumlah perkara (case load) yang sangat besar, sehingga menyulitkan kedudukan penuntut umum yang tidak mungkin dapat bekerja secara efektif mengingat faktor waktu. Kedua, karena penuntut umum berpendapat, bahwa kemungkinan akan berhasilnya penuntutan sangat kecil. Pada umumnya, yang termasuk dalam sebab kedua ini ialah kurangnya bahan pembuktian, kurangnya saksi yang dapat dipercaya, atau tertuduh adalah orang yang dianggap ‘respectable’ di kalangan para juri.
            Sejarah mengenai plea bargaining ini muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, sistem ini berperan sekali dalam mengatasi kesulitan menangani perkara pidana. Bahkan pada tahun 1930, pengadilan di Amerika Serikat sudah menggunakan sistem plea bargaining ini. Pada tahun 1958, Mahkamah Agung Amerika Serikat (Supreme Court of Justice) bahwa praktik plea bargaining ini adalah sistem yang illegal, Akan tetapi atas keberatan Departemen of Justice kehendak tersebut tidak dilaksanakan. Bahkan akhirnya pada tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan bahwa “plea bargaining was inherent in the criminal law and its administration” (Brady VS United States, 297 U.S. 742/1970). Hingga saat ini tidak ada perhatian yang mendalam untuk menghapus sistem plea bargaining ini di Amerika Serikat oleh karena dengan adanya sistem tersebut nampaknya telah memperoleh suatu “fair trial” dan “accuracy” dalam perkara pidana.
            Berlandasan pada beberapa batasan plea bargaining dapatlah disimpulkan sebagai berikut :
1.      Bahwa plea bargaining ini pada hakikatnya merupakan suatu negoisasi antara pihak penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya;
2.      Motivasi negoisasi tersebut yang paling utama ialah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana
3.      Sifat negoisasi harus dilandaskan pada ‘kesukarelaan’tertuduh untuk mengakui kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikan ancaman hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya;
4.      Keikutsertaan hakim sebagai wasit yang tidak memihak dalam negoisasi dimkasud tidak diperkenankan.
Jika melihat dari rancangan KUHAP (R-KUHAP) di Indonesia yang mencoba memadukan nilai-nilai hukum yang terdapat dalam sistem hukum civil law dan sistem hukum common law ditemukan hal-hal yang baru. Salah satu hal yang baru yang terdapat dalam R-KUHAP adalah keberadaan lembaga plea guilty.
Keberadaan lembaga plea guilty merupakan slaah satu cirri khas hukum acara di Negara common law yang coba dianut dalam R-KUHAP. Lembaga plea guilty yang dianut dalam R-KUHAP tidak secara mutlah megambil nilai plea bargaining yang ada di Negara common law. R-KUHAP hanya mengambil sebagian nilai-nilai plea bargaining yang dianggap dapat disesuaikan dengan sistem hukum Indonesia. Nilai plea bargaining yang diambil dan dimasukan dalam R-KUHAP adalah nilai plea guilty (pengakuan kesalahan)
Gagasan untuk memasukan nilai-nilai plea guilty dalam R-KUHAP didasari bahwa lembaga plea guilty memiliki nilai lebih yakni dapat lebih menunjang asas peradilan pidana yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Di sisi lain, keberadaan lembaga plea guilty banyak menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan tersebut mengenai kedudukan, potensi terjadinya miscarriage of justice (peradilan sesat) yang ditimbulkan dan peranan dari lembaga plea guilty dalam R-KUHAP
Jika sekilas kita melihat, plea bargaining ini merupakan diskresi dari penegak hukum, dalam hal ini adalah jaksa penuntut umum. Jaksa diberi kewenangan untuk memberikan kesempatan kepada si tersangka dalam mengakui kesalahannya. Pengakuan tersebut juga menguntungkan dari pihak jaksa itu sendiri yakni mempermudah dan mempercepat dalam proses perkara tindak pidana. Dan untuk pihak tersangkanya sendiri, apabila tawaran ini menguntungkan maka sebaliknya jaksa berwenang untuk memberi reward kepada tersangka yakni pengurangan hukuman dalam surat dakwaannya.
           
Sumber :
Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar  Karangan Prof.Andi Sofyan, S.H.,M.H.
Sistem Peradilan Pidana Kontemporer Karangan Prof. Romli Atmasasmita,S.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar