Selasa, 11 September 2018

Kebijakan Hukum Pidana : Studi Penggabungan dan Pemisahan Hukum Agama dan Hukum Pidana di Indonesia




Abstrak
            Indonesia merupakan Negara yang memiliki macam ragam budaya, suku, ras, golongan dan agama. Dalam hal agama sendiri, Indonesia memiliki 5 agama yang diyakini yakni, Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Hindu. Setiap warga Negara berhak untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini tidak terlepas dari peran Negara dalam melindungi hak-hak warga Negara yang memeluk agamanya masing-masing, maka dalam hal ini pentingnya sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal yang berkaitan dengan agama.
            Indonesia merupakan Negara muslim terbesar di dunia dengan presentase 88,1 % atau sebanyak 255.461.700 jiwa. Indonesia juga memiliki suku, budaya, dan agama yang beragam sehingga Indonesia merupakan Negara yang menganut pancasila salah satunya mengakui bahwa ketuhanan yang maha esa yang artinya Indonesia tidak terlepas dari ketuhanan ataupun agama. Banyaknya perdebatan yang timbul apakah Negara Indonesia ini Negara yang menganut islam karena dilihat dari penduduknya atau Negara yang menganut pancasila ? Berbagai kasus yang menyangkut tentang keagamaan sering terjadi dan dari tahun 1965 sudah ada peraturan mengenai pasal penodaan agama, yang pada intinya adalah barang siapa dengan sengaja menebar kebencian, penodaan, penyalahgunaan suatu agama di muka umum, maka dikenai hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
                        Kata Kunci : Perbandingan, Kebijakan Hukum Pidana, Hukum Islam.
A.    Pendahuluan
Indonesia merupakan penganut atas pancasila nya yang kuat, melihat Nilai pancasila sebagai sumber hukum Indonesia, dimana mempunyai tujuan untuk menegakkan hubungan keserasian nilai di dalam masyarakat. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa nilai-nilai didalam pancasila ada nilai spiritualisme, nilai kerakyatan, nilai persatuan dan nilai keadilan. Pancasila terdiri dari sistem nilai dimana yang mampu mendirikan sebagaimana mempertahankan hubungan keserasian nilai di dalam masyarakat. Keserasian nilai antinomi dalam Pancasila merupakan sesuatu yang layak sebagai sumber hukum Indonesia, sebagai sarana untuk menegakkan sebagaimana sebaiknya mempertahankan hubungan keserasian nilai di dalam masyarakat. Menurut A. Brotosusilo dalam perkuliahan filsafat hukum yang diberikan pada semester 1 sebelumnya, Pancasila bukan grundnorm, tetapi Pancasila merupakan turunan dari nilai-nilai filosofis yang ada di dalam masyarakat di Indonesia. Masyarakat lebih memiliki nilai gotong royong, nilai kerakyatan, nilai keadilan, dan nilai spiritualisme. Semua nilai-nilai tersebut dituangkan ke dalam dasar hukum yakni Pancasila.
            Nilai-nilai pancasila lebih mengarah ke hukum adat, dimana pancasila merupakan dasar pondasi filosofi dari konstitusi UUD 1945, berdasarkan Nusantara (lalu yang disebut Negara kepulauan Indonesia), nilai kebudayaan, adalah kristalisasi dari kelima sila pancasila. Pancasila ada di dalam hukum adat sebagai keserasian yang terjalin menjadi prespektif kebudayaan Indonesia. Mengambil teori dari Savigny, baginya sistem hukum merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat. Hukum bukan suatu hasil pengadilan atau hasil dari pembuat undang-undang tetapi berkembang sebagai suatu respon terhadap kekuatan impersonal yang ditemukan pada semangat nasional rakyat (Volkgeist).
            Di samping itu juga, Negara Indonesia menganut Hak Asasi Manusianya yang kuat berlandaskan pada ajaran Pancasila pada sila ketiga, yakni kemanusian yang adil dan beradab. Jika dilihat dari segi pemidanaan di Indonesia merujuk pada KUHP yakni pidana penjara, pidana denda, hingga pidana mati. Tentunya pemidaan tersebut tidak berlaku semua untuk pidana yang ada di hukum positif di Indonesia namun juga adanya pertimbangan-pertimbangan hakim untuk menentukan pidana seperti apa yang pantas bagi pelaku kejahatan. Tidak sampai kedalam pemidanaan saja tapi setelah pemidanaan yang dijatuhkan apakah ada rasa efek jera terhadap si pelaku tersebut dan tidak melakukan kejahatan lagi ?
            Jika dibandingkan dengan hukum islam yang diterapkan di Arab Saudi salah satunya. Negara tersebut menganut ajaran Al-Quran dan Hadist sebagai landasan hukumnya, seperti mencuri. Mencuri di Negara Arab Saudi dilakukan dengan cara potong tangan. Hal tersebut jelas ada di al-Quran dalam surat Al-Maidah (5) : 38 yang berbunyi : “Laki-Laki maupun Perempuan, jika ia mencuri, potonglah tangannya.”. Tidak heran jika Negara Arab Saudi yang sebagian dari masyarakatnya kehilangan tangan karena pernah mencuri. Maka, di Negara Arab Saudi selain merupakan salah satu Negara terkaya di dunia, masyarakatnya menerapkan sistem zakat, bagi orang kaya yang mampu maka sebagian harta nya dibagikan ke orang-orang miskin. Penerapan sistem hukum islam tersebut memberikan dampak sebuah efek jera dari pemidanaan itu sendiri jika mencuri akan dipotong tangannya setelah itu tidak akan mencuri lagi, selain itu zakat yang diterapkan mengurangi dampak kemiskinan yang terjadi bahkan mengurangi angka kriminalisasi di Negara tersebut. Pertanyaannya adalah, Bagaimana konsep hukum agama jika dicampuradukan dengan Negara serta bagaimana pula jika dipisahkan dengan Negara ?
B.     Pembahasan
1.                  Indonesia Dalam Pusaran Hukum Agama Islam
Berawal dari penulis melihat studi perbandingan di Negara Arab Saudi dan Negara Indonesia. Penulis beranjak pada pemikiran melihat kedua Negara tersebut adalah Negara yang memiliki populasi masyarakat muslim terbesar di dunia. Sehingga bisa jadi hukum islam yang berdasarkan Al-Quran dan Hadist menjadi panutan. Di dalam hukum pidana sendiri, di Arab Saudi yang menggunakan konsep Negara yang dicampuradukan dengan Negara ketika terjadi suatu kejahatan yang dilarang dalam Al-Quran, misalnya saja tidak boleh mencuri, tidak boleh membunuh, tidak boleh berzina, dan lain-lain. Sudah jelas hukum mencuri di wilayah di Negara Arab Saudi dilakukan dengan potong tangan. Hal tersebut jelas ada di al-Quran dalam surat Al-Maidah (5) : 38 yang berbunyi : “Laki-Laki maupun Perempuan, jika ia mencuri, potonglah tangannya.”. Melihat dari sanksi potong tangan tersebut memberikan dampak bahwa tingkat kriminalitas di Arab Saudi mengecil dibandingkan dengan Negara lain yang menerapkan sanksi pidana penjara.
Hukum Islam memiliki dua dimensi yang terkandung yaitu dimensi abstrak dan konkret. Wujud dari dimensi abstrak adalah segala perintah dn larangan Allah serta rasulnya dan dimensi konkret wujudnya adalah tingkah laku manusia. Bukan hanya itu saja, di dalam hukum islam juga akan kaya substansi yang berinternalisasi dan terinstutisionalisasi dalam berbagai pranata sosial di kehidupan masyarakat islam dan masyarakat Indonesia.[1] Oleh karena itu hukum islam kini menjadi hukum yang hidup dan berkembang dan berlaku serta dipatuhi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia disamping undang-undang tertulis.[2]
Dalam perkembangan dan pengkajian hukum islam di Indonesia, terdapat beberapa teori yang menjadi landasan berlakunya hukum islam di Indonesia. Adapun teori-teori tersebut diantaranya adalah :
a.       Teori ajaran Islam tentang hukum Islam
Dari teroi ini tersirat bahwa Islam mengajarkan kepada para pemeluknya yang berhukum pada hukum islam seperti yang disebutkan dalam firman Allah (1:5) yang didalamnya menggambarkan permohonan bagi orang Islam untuk berjalan di jalan yang lurus termasuk di bidang hukum.[3]
b.      Teori penerimaan otoritas hukum
Teori ini telah disepakati oleh seluruh imam dalam mahzab hukum islam dimana di dalamnya menegaskan bahwa siapapun yang telah menyatakan dirinya sebagai orang islam dengan mengucap 2 kalimat syahadat maka ia akan terikat dan patuh serta taat kepada hukum dan ajaran islam.[4] Artinya secara sosiologis, orang-orang yang sudah beragama Islam menerima otoritas hukum Islam yaitu taat kepada hukum islam.
c.       Teori Receptie In Complexiu / Penerimaan hukum islam sepenuhnya
Teori ini dikemukakan oleh Loedewijk Willm Cristian Van Den Berg (1845-1927), yang menyatakan bahwa bagi orang islam sepenuhnya berlaku penuh hukum islam karena ia telah memeluk agama islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.[5] Teori ini muncul pada tanggal 25 Mei1876 yang oleh Belanda dituangkan dalam bentuk peraturan Resolutie der IndischeRegeering yang pada tahun 1885nya oleh Belanda kembali diberikan dasar hukumnya dalam Regeering Regalement.[6]
d.      Teori Receptie / Penerimaan hukum Islam oleh hukum adat
Teori ini mengandung pengertian bahwa hukum islam berlaku apabila diterima dan dikehendaki oleh hukum adat. Dengan kata lain teori ini menegaskan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat dan hukum Islam berlaku jika telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini dikemukakan oleh Cristian Snouck Hourgronye yang kemudian dikembangkan oleh Van Vollen Hoven dan Teer Har.
e.       Teori Receptie A Contrario
Teori ini secara harafiah merupakan lawan dari teori Receptie dimana menurut teori ini hukum adat berlaku bagi setiap orang islam bila hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan hukum islam. Teori ini dipopulerkan oleh Haazairin yang kemudian dikembangkan lagi oleh Sayuti Thalib.[7]
            Dari penjelasan di atas maka jelaslah melihat mengenai sejarah dan dasar teori berlakunya hukum Islam di Indonesia yang sampai saat ini keberadaan hukum islam itu sendiri masih tetap diakui sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia dan hukum islam secara positif eferechthelijki maupun kenyataan social merupakan salah satu system hukum yang berlaku dan diakui di Indonesia disamping hukum adat.
            Terkait dengan berlakunya hukum Islam di Indonesia secara formal apabila kita cermati dalam perundang-undangan di Indonesia, terdapat 3 pilar UU bagi berlakunya hukum Islam di Indonesia yaitu, UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan UU No.7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama.
            Pada era reformasi ini pula terdapat beberapa kebijakan-kebijakan yang didalamnya mengakui adanya hukum Islam di Indonesia, dimana kebijakan tersebut dapat terlihat  dalam TAP MPR NO.IV/MPR/1999 Bab IV Butir a.2 yang menyatakan :
”Menata system hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama, hukum adat, serta memperbaharuhi perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.”
Maka dari pernyataan tersebut jelas sekali bahwa hukum islam merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia dan dalam perkembangan hukum nasional terlihat jelas bahwa hukum islam memiliki andil yang besar dalam mewujudkan hukum nasional.
2.      Indonesia Dalam Pemisahan Antara Negara dan Agama Islam.
Berangkat dari pemikiran konsep agama, dalam pandangan Walzer ialah kenyataan bahwa di Indoenesia, agama/keyakinan memainkan peranan yang sangat penting dan acap kali menjadi fokus perdebatan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Menjadi pokok perdebatan ialah pertayaan apakah dan sejauh mana kelompok-kelomok masyarakat atas dasar keyakinan keagamaan mereka berwenang merumuskan ketentuan hukum pidana ? Indonesia secara formal membedakan antara kelompok-kelompok masyarakat atas dasar keyakinan keagamaan mereka berwenang merumuskan ketentuan pidana. Indonesia secara formal membedakan antara kelompok etnis dengan kelompok keagamaan. Ketentuan Pasal 18 (2) UUD 1945 berbicara mengeanai kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Kelompok-kelompok religious mendapatkan kebebasan mereka beranjak dari kemerdekaan untuk memeluk agama (Dalam Pasal 29 ayat 2), kebebasan menyakini kepercayaan (Pasal 28E Ayat 2) dan kebebasan berserikat dan berkumpul (Pasal 28 dan 28E Ayat 3). Kesemua itu sejatinya adalah hak-hak individual, hal mana membuat kedudukan/posisi kelompok-kelompok keagamaan sepanjang otonom menjadi lemah.
Pada lain pihak, Negara menjamin keberadaan peradilan agama (Pasal 24 ayat 2 UUD 1945). Secara umum, kendati begitu, peradilan agama tersebut tidak memiliki kompetensi (yurisdiksi) memeriksa perkara perkara-perkara hukum pidana, terkecuali (antara lain) Aceh. Pengadilan agama di Aceh memiliki kewenangan memeriksa dan memutus perkara-perkara pidana berkenaan dengan perbuatan-perbuatan seperti zinah, judi dan jual-beli serta konsumsi minuman mengandung alcohol. Landasan  hukum dari kewenangan tersebut dapat kita temukan dalam peraturan daerah.[8], hal mana menyulitkan pengawasan oleh pemerintah pusat (Undang-Undang Dasar tidak menyentuh persoalan ini). Di tempat-tempat lain, hukum agama mempengaruhi hukum adat dan dengan cara demikian juga mempengaruhi hukum adat dan dengan cara demikian juga mempengaruhi hukum pidana[9]. Maka itu terbuka pula peluang bahwa masyarakat lokal dengan merujuk pada ketentuan Pasal 18B ayat 2 di atas merumuskan ketentuan pidana yang secara formil mengejahwantahkan nilai-nilai hukum adat, namun factual dilandaskan pada norma-norma hukum agama (syariah). Dengan cara itulah, hukum agama dapat mempengaruhi pembentukan hukum pidana.[10]
Seberapa jauh kewenangan membuat (merumuskan dan memberlakukan) ketentuan pidana yang terinspirasi keyakinan religious (hukum agama) dapat dibatasi dan dikendalikan sangat tergantung pada bagaimana Negara bersikap terhadap agam/keyakinan yang dianut masyarakat. Apabila Negara memandang religi sebagai bagian dari identitas nasional (bangsa), maka semakin besar ruang yang terbuka bagi kelompok-kelompok religious. Maka semakin besar terbuka bagi kelompok-kelompok religious. Sebaliknya bila Negara memandang agama/keyakinan sebagai urusan pribadi atau hak individual sebagaimana terimplikasi dri Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 29), maka setidaknya dalamtataran teori semakin kecil kemungkinan memberlakukan hukum pidana berlandaskan syariah. Kendati begitu, dalam praktiknya pemerintah pusat berhdapan dengan persoalan diatas bersikap ambigu. Kelompok-kelompok minoritas, berhadapan dengan keraguan yang terkesan bertentangan dengan apa yang ditulis di dalam UUD. Pada lain pihak, ternyata di Indonesia ada persinggungan dan pencampuran kelompok etnis dan kelompok agama, dan tidak dapat dihindari bahwa hukum Islam atau Syariah (untuk sebahagiaan) masuk ke dalam ketentuan-ketentuan pidana yang ditemukan dalam ragam peraturan daerah. Dari sudut pandang internasional, praktik demikian terkesan tidak salah; ketentuan pasal 27 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik memberikan ruang bagi kelompok-kelompok minoritas keagaman tertentu (religious minoritie) untuk menyelenggarakan dan menata kehidupan mereka atas dasar keyakinan agamanya. Juga dapat dikatakan bahwa UUD 1945 justru memberikan kebebasan yang sangat dan terlalu sempit kepada kelompok-kelompok religus. Beberapa dari kelompok demikian berhasil mengatasi pembatas tersebut.
Di sini pertanyaan yang masih dan terus muncul ialah apakah aturan-aturan hukum yang diambil dari hukum islam (syariah) boleh dimunculkan dalam atau diberlakukan melalui peraturan daerah. Berkenaan dengan ancaman sanksi, hal mana banyak diperdebatkan, jelas dapat kita tenggarai adanya ketegangan dengan Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), terutama larangan penyiksaan  (Pasal 7). Terkait dengan persoalan apakah pemberlakuan ketentuan pidana kelompok minoritas dapat didorong dan dipaksa menerima nilai-nilai (padangan) liberal. Semakin eksplisit pertanyaan di atas dijawab secara positif (kelompok minoritas dapat dipaksa menerima pandangan liberal), semakin kecil ruang terbuka bagi pelarangan judi, mengonsumsi alcohol atau pemberlakuan kewajiban pengenaan jilbab dengan ancaman pidana. Sebaliknya semakin kecil nilai-nilai liberal dihargai dan dianut, semakin besar peluang memunculkan perundang-undangan yang menganam dengan sanksi semua perbuatan yang dilarang agama. Terbayangkan bahwa hubungan seksual sesame jenis akan serta merta dilarang dan dikatikan pula ancama pidana terhadap tatacara berpakaian perempuan.[11] Berkenaan dengan itu, telah disinggung pula asas kesetaraan (persamaan) dapat turur berperan menjawab persoalan ketentuan pidana diperlukan (untuk melarang suatu perbuatan dan memberlakukannya secara umum). Juga tanpa terlalu menekannkan peranan nilai-nilai liberal, seyogyanya wajar mempertimbangkan kemungkinan bahwa kebeasan beragama/berkeyakinan (yang diwujudkan melalui perumusan ketentuan pidana) harus mengalah bila berbentuan dengan asas kesetaraan/persamaan dan keadilan.

C.    Penutup

Di Indonesia ada persinggungan dan pencampuran kelompok etnis dan kelompok agama, dan tidak dapat dihindari bahwa hukum Islam atau Syariah (untuk sebahagiaan) masuk ke dalam ketentuan-ketentuan pidana yang ditemukan dalam ragam peraturan daerah. Dari sudut pandang internasional, praktik demikian terkesan tidak salah; ketentuan pasal 27 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik memberikan ruang bagi kelompok-kelompok minoritas keagaman tertentu (religious minoritie) untuk menyelenggarakan dan menata kehidupan mereka atas dasar keyakinan agamanya. Juga dapat dikatakan bahwa UUD 1945 justru memberikan kebebasan yang sangat dan terlalu sempit kepada kelompok-kelompok religus. Beberapa dari kelompok demikian berhasil mengatasi pembatas tersebut.
Hukum islam merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia dan dalam perkembangan hukum nasional terlihat jelas bahwa hukum islam memiliki andil yang besar dalam mewujudkan hukum nasional. Berkenaan dengan itu, telah disinggung pula asas kesetaraan (persamaan) dapat turur berperan menjawab persoalan ketentuan pidana diperlukan (untuk melarang suatu perbuatan dan memberlakukannya secara umum). Juga tanpa terlalu menekannkan peranan nilai-nilai liberal, seyogyanya wajar mempertimbangkan kemungkinan bahwa kebeasan beragama/berkeyakinan (yang diwujudkan melalui perumusan ketentuan pidana) harus mengalah bila berbentuan dengan asas kesetaraan/persamaan dan keadilan.


[1] Rachman Lathief dalam Arema Hukum No. 18, 5 Nov 2012, Malang, hlm.10
[2] Ramulyo, Asas-Asas Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), hlm. 52.
[3] Arema Hukum, No.18, Tahun : 1002, 2 Nov 2002, hlm. 13
[4] Ichtijanto, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 1995), hal. 74.
[5] Sayuti Thalib, Receptie a Contatio (Hukbungan antara hukum adat dan hukum islam), (Jakarta : Academica, 1980), hlm.7.
[6] Ichtijianto, Hukum Islam, hlm. 114
[7] Juhaya S Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung : Pusat Penerbitan Universitas Islam Bandung, 1995), hlm. 136.
[8] Bey F, Three Most Important Features of Indonesia Legal System that Others Should Understand. Paper delivered at the IALS Conference : Learning from Each Other : Enriching the Law School Curriculum in an Interrleated World, 2007, hlm. 115-117.
[9] Haveman R.H. The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia. (Jakarta, Tata Nusa, 2007), hlm. 85.
[10] Siregar, H.B., Islamic Law in a National Legal System : A Study om Implementation of Sharia’ah in Aceh, Indonesia. Asian Journal of Comparative Law, 2008, 3(1), article 4.
[11] Allen P, Challenging Diversity ? Indonesia’s Anti-Pornography Bill. Asian Studies Review, 31, 2007, hlm. 101-115.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar