Lembaga pemasyarakatan yang selanjutnya disebut dengan
Lapas merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak didik
Pemasyarakatan.[1]
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sebenarnya ialah suatu
lembaga, yang dahulu juga dikenal sebagai rumah penjara, yakni tempat di mana
orang-orang yang telah dijatuhi dengan pidana-pidana tertentu oleh hakim itu
harus menjalankan pidana mereka.[2]
Kebudayaan penjara (prison culture) menjadi isu penting dalam membahas manajemen
penjara (prison management).
Persoalan financial bukanlah yang utama mempengaruhi efektifitas penjara
sebagai suatu institusi (oraganisasi). Kebudayaan penjara ditandai dengan
asumsi bahwa adanya perbedaan structural antara pegawai penjara (prison officer) dan narapidana (prisoners). Ada pengalaman spesifik
antara pegawai penjara dalam narapidana (prisoners).
Ada pengalaman spesifik antara pegawai penjara dalam mengontrol dan member
pelayanan terhadap narapidana, yang mengarah pada ketergantungan mutual (a strong sense of identity), dan jalan
dimana “keterkurungan” mereka mengarah pada hubungan kerja dan komunikasi yang
akrab.
Berbagai masalah yang dihadapi oleh lembaga
pemasyarakatan sebagai bagian dari lembaga sistem peradilan pidana yang terpadu
yakni terjadinya over crowded, sumber
daya manusia dan kesejahteraan sipir, pembinaan lembaga pemasyarakatan yang
kurang efektif, dan lain-lain memberikan dampak yang signifikasn bagi para
tahanan di lembaga pemasyarakatan. Mengingat lembaga pemasyarakatan merupakan
lembaga untuk memberikan pembinaan dengan tujuan memasyarakatkan dan diterima
kembali oleh masyarakat. Hal ini menjadi fokus utama dan tantang dalam sistem
pemasyarakatan kedepannya.
Berdasarkan data singkat mengenai jumlah narapidana di
Indonesia yang terakhir diakses (22 November 2016) terdapat 201,771 jumlah
tahanan dan kapasitas tahanan sebanyak 118,96. Beberapa catatan mengenai over
crowded di lapas yang ada di daerah hampir semuanya over. Kecuali di daerah DI Yogyakarta, Maluku, Papua, dan Sulawesi
Barat.
Melihat keadaan data lembaga pemasyarakatan di seluruh
wilayah Indonesia, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, pemidanaan penjara
bukanlah hal yang efektif untuk membina tahanan yang sebanyak itu. Sehingga
ketidakmampuan tenaga professional yang dimiliki sipir berbanding jauh dengan
kapasitas jumlah tahanan. Lalu, mengenai anggaran pemerintah untuk lembaga
pemasyarakatan yang besar untuk mencukupi atas hak-hak narapidana, yakni hak
untuk mendapatkan makanan dan minuman serta kesehatan yang layak.
Ketidakefektivitasan yang disebutkan diatas merupakan
wajah dari pemasyarakatan di Indoensia, pembinaan di dalam lembaga
pemasyarakatan banyak terbebani sehingga narapidana di dalam Lapas belum
sepenuhnya dibina sehingga ketika ia dikembalikan ke masyarakat, apakah sudah
selayaknya ia diterima oleh masyarakat ? Dan mantan narapidana kerap kali sudah
di label oleh masyarakat lalu ia melakukan kembali tindak pidana yang
dilakukannya maka itu disebut sebagai residivis.
Berbicara mengenai residivisme, merupakan sebuah
contoh ketidakberhasilan dari lembaga pemasyarakatan untuk membina seseorang
narapidana. Residivis adalah suatu pengulangan tindak pidana atau melakukan
kembali kejahatan yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana
dan menjalani penghukumannya. Penelitian mengenai residivisme mengalami banyak
kritik. Kesimpulan yang agak pasti dibuat hanyalah bahwa terdapat kemungkinan
pemidanaan mempunyai kemampuan bersifat menangkal dalam keadaan tertentu.
Lalu permasalahan lainnya juga dihadapi Lapas saat
ini yaitu kelebihan jumlah narapidana dibandingkan dengan kapasitas ruang yang
tidak memadai atau mengalami kepadatan yang berlebihan (overcrowded). Data yang
diperoleh menunjukkan bahwa salah satu hal yang menjadi penyebab belum
terpenuhinya hak dasar dari setiap narapidana adalah kurangnya kemampuan dari
LP untuk memberikan tempat dan fasilitas yang layak bagi para narapidana
diakibatkan oleh jumlah narapidana yang telah jauh melampaui kapasitas yang
ada.[3]
Pembenaran lain untuk pemberian pemidanaan yang paling banyak dianut
adalah yang didasarkan pada nalar pembinaan yakni treatment, rehabilitation correction. Pembinaan terpidana di
penjara ini tidak seperti yang dituangkan ke dalam UU Pemasyarakatan, karena
tidak banyak yang dilakukan dengan ketidaktersediaan tenaga professional dan
anggaran untuk hal pembinaan di dalam Lapas. Program rehabilitasi melalui
pendidikan (akademik maupun latihan kerja) dilakukan tanpa evaluais secara
berkala sehingga efektifitasnya dipertanyakan. Latihan kerja atau bekerja di
penjara sebagai metode rehabilitasi juga efektifitasnya dipertanyakan. Jadi,
melakukan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan seperti Goffman kutip yakni
“total institution” tidaklah mudah. Apa yang hingga saat itu dilakukan masih
baru dan merupakan “perlakuan manusiawi” sehingga pembinaan dalam arti
sesungguhnya belum bisa diterima.[4]
[1] Ali Aranoval,
dkk, Kajian Akademik Tentang Balai
Pemasyarakatan Sebagai Bahan ususlan dalam Rancangan KUHP,Centre fo
Detention Studies, Jakarta, hal.70.
[4] Mardjono
Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem
Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum,
Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 151.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar