Selasa, 11 September 2018

Dilema Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Peningkatan Sumber Daya Manusia, Hingga Sistem Lembaga Pemasyarakatan



Lembaga pemasyarakatan yang selanjutnya disebut dengan Lapas merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak didik Pemasyarakatan.[1]
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sebenarnya ialah suatu lembaga, yang dahulu juga dikenal sebagai rumah penjara, yakni tempat di mana orang-orang yang telah dijatuhi dengan pidana-pidana tertentu oleh hakim itu harus menjalankan pidana mereka.[2]
Kebudayaan penjara (prison culture) menjadi isu penting dalam membahas manajemen penjara (prison management). Persoalan financial bukanlah yang utama mempengaruhi efektifitas penjara sebagai suatu institusi (oraganisasi). Kebudayaan penjara ditandai dengan asumsi bahwa adanya perbedaan structural antara pegawai penjara (prison officer) dan narapidana (prisoners). Ada pengalaman spesifik antara pegawai penjara dalam narapidana (prisoners). Ada pengalaman spesifik antara pegawai penjara dalam mengontrol dan member pelayanan terhadap narapidana, yang mengarah pada ketergantungan mutual (a strong sense of identity), dan jalan dimana “keterkurungan” mereka mengarah pada hubungan kerja dan komunikasi yang akrab.
Berbagai masalah yang dihadapi oleh lembaga pemasyarakatan sebagai bagian dari lembaga sistem peradilan pidana yang terpadu yakni terjadinya over crowded, sumber daya manusia dan kesejahteraan sipir, pembinaan lembaga pemasyarakatan yang kurang efektif, dan lain-lain memberikan dampak yang signifikasn bagi para tahanan di lembaga pemasyarakatan. Mengingat lembaga pemasyarakatan merupakan lembaga untuk memberikan pembinaan dengan tujuan memasyarakatkan dan diterima kembali oleh masyarakat. Hal ini menjadi fokus utama dan tantang dalam sistem pemasyarakatan kedepannya.
Berdasarkan data singkat mengenai jumlah narapidana di Indonesia yang terakhir diakses (22 November 2016) terdapat 201,771 jumlah tahanan dan kapasitas tahanan sebanyak 118,96. Beberapa catatan mengenai over crowded di lapas yang ada di daerah hampir semuanya over. Kecuali di daerah DI Yogyakarta, Maluku, Papua, dan Sulawesi Barat.
Melihat keadaan data lembaga pemasyarakatan di seluruh wilayah Indonesia, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, pemidanaan penjara bukanlah hal yang efektif untuk membina tahanan yang sebanyak itu. Sehingga ketidakmampuan tenaga professional yang dimiliki sipir berbanding jauh dengan kapasitas jumlah tahanan. Lalu, mengenai anggaran pemerintah untuk lembaga pemasyarakatan yang besar untuk mencukupi atas hak-hak narapidana, yakni hak untuk mendapatkan makanan dan minuman serta kesehatan yang layak.
Ketidakefektivitasan yang disebutkan diatas merupakan wajah dari pemasyarakatan di Indoensia, pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan banyak terbebani sehingga narapidana di dalam Lapas belum sepenuhnya dibina sehingga ketika ia dikembalikan ke masyarakat, apakah sudah selayaknya ia diterima oleh masyarakat ? Dan mantan narapidana kerap kali sudah di label oleh masyarakat lalu ia melakukan kembali tindak pidana yang dilakukannya maka itu disebut sebagai residivis.
Berbicara mengenai residivisme, merupakan sebuah contoh ketidakberhasilan dari lembaga pemasyarakatan untuk membina seseorang narapidana. Residivis adalah suatu pengulangan tindak pidana atau melakukan kembali kejahatan yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana dan menjalani penghukumannya. Penelitian mengenai residivisme mengalami banyak kritik. Kesimpulan yang agak pasti dibuat hanyalah bahwa terdapat kemungkinan pemidanaan mempunyai kemampuan bersifat menangkal dalam keadaan tertentu.
Lalu permasalahan lainnya juga dihadapi Lapas saat ini yaitu kelebihan jumlah narapidana dibandingkan dengan kapasitas ruang yang tidak memadai atau mengalami kepadatan yang berlebihan (overcrowded). Data yang diperoleh menunjukkan bahwa salah satu hal yang menjadi penyebab belum terpenuhinya hak dasar dari setiap narapidana adalah kurangnya kemampuan dari LP untuk memberikan tempat dan fasilitas yang layak bagi para narapidana diakibatkan oleh jumlah narapidana yang telah jauh melampaui kapasitas yang ada.[3]
Pembenaran lain untuk pemberian pemidanaan yang paling banyak dianut adalah yang didasarkan pada nalar pembinaan yakni treatment, rehabilitation correction. Pembinaan terpidana di penjara ini tidak seperti yang dituangkan ke dalam UU Pemasyarakatan, karena tidak banyak yang dilakukan dengan ketidaktersediaan tenaga professional dan anggaran untuk hal pembinaan di dalam Lapas. Program rehabilitasi melalui pendidikan (akademik maupun latihan kerja) dilakukan tanpa evaluais secara berkala sehingga efektifitasnya dipertanyakan. Latihan kerja atau bekerja di penjara sebagai metode rehabilitasi juga efektifitasnya dipertanyakan. Jadi, melakukan pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan seperti Goffman kutip yakni “total institution” tidaklah mudah. Apa yang hingga saat itu dilakukan masih baru dan merupakan “perlakuan manusiawi” sehingga pembinaan dalam arti sesungguhnya belum bisa diterima.[4]



[1] Ali Aranoval, dkk, Kajian Akademik Tentang Balai Pemasyarakatan Sebagai Bahan ususlan dalam Rancangan KUHP,Centre fo Detention Studies, Jakarta, hal.70.
[2] Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2012, hal. 165.
[3] Eva achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, 2011, hal. 121.
[4] Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 151.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar