Dalam ketentuan umum KUHP Indonesia
masih dianut asas umum bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh
manusia (natuurlijke persoon),
sehingga fiksi badan hukum (rechtpersoon)
tidaklah berlaku dalam hukum pidana.Namun beberapa peraturan perundang-undangan
di luar KUHP telah mulai menyimpang dari asas umum tersebut.[1]
Pasal 59 KUHP berbunyi dalam hal-hal
di mana ditentukan pidana karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota-anggota
badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus
atau komisaris yang temyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak
dipidana.
Beberapa peraturan diluar KUHP telah
menyimpang dari Pasal 59 KUHP tersebut, dimana korporasi dinyatakan sebagai
subyek tindak pidana telah dimuat dalam Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955
tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (PTPK) dan perubahannya, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang No.8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Diterimanya korporasi sebagai subyek
hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi perluasan dari pengertian
siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader).
Permasalahan yang segera muncul adalah sehubungan dengan pertanggungjawaban
pidana adalah harus adanya kesalahan (schuld)
pada pelaku. Bagaimanakah kita harus mengkonstruksikan kesalahan dari suatu
korporasi ? Ajaran yang banyak dianut sekarang ini memisahkan antara
perbuatannya yang melawan hukum (menurut hukum pidana) dengan
pertanggungjawaban menurut hukum pidana.Perbuatan melawan hukum ini dilakukan
oleh suatu korporasi.Ini sekarang telah dimungkinkan.Tetapi bagaimana kita
mempertimbangkan tentang pertanggungjawabannya?Dapatkah dibayangkan pada
korporasi terdapat unsur kesalahan (baik kesengajaan atau dolus ataupun kelalaian
atau culpa)? Dalam keadaan pelaku adalah manusia, maka kesalahan ini dikaitkan
dengan celaan (verwijtbaarheid; blameworthiness) dank arena itu berhubungan
dengan mentalitas atau psyche pelaku.Bagaimana halnya dengan pelaku yang bukan
manusia, yang dalam hal ini adalah korporasi?[2]
Salah satu kasus dimana penegak
hukum menuntut korporasi sebagai pelaku tindak pidana yang walaupun pada
akhirnya korporasi tersebut tidak dipidana adalah Perusahaan Pertambangan PT.
Newmont Minahasa Raya dalam kegiatan pertambangan emas telah terjadi tindak
pidana pencemaran lingkungan dan Dampak akibat kegiatan penambangan PT. NMR
terjadi mulai tahun 1996–1997 dengan 2000-5000 kubik ton limbah setiap hari di
buang oleh PT. NMR ke perairan di teluk Buyat yang di mulai sejak Maret 1996.
Menurut PT. NMR, buangan limbah tersebut, terbungkus lapisan termoklin pada
kedalaman 82 meter. Nelayan setempat sangat memprotes buangan limbah
tersebut.Apalagi diakhir Juli 1996, nelayan mendapati puluhan bangkai ikan mati
mengapung dan terdampar di pantai.Kematian misterius ikan-ikan ini berlangsung
sampai Oktober 1996.Kasus ini terulang pada bulan juli 1997. Kematian ikan-ikan
yang mati misterius ini, oleh beberapa nelayan dan aktivis LSM di bawa ke
laboratorium Universitas Sam Ratulangi Manado dan Laboratorium Balai Kesehatan
Manado, tetapi kedua laboratorium tersebut menolak untuk meneliti penyebab
kematian ikan-ikan tersebut.
Korporasi (Corporation dalam bahasa
Inggris, Corporatie dalam bahasa Belanda) yang secara etimologis berasal dari bahasa
latin yaitu Corporatio dengan corpus merupakan badan dan tio untuk menunjukan
suatu kata benda.[3]Menurut
Black law dictionary, korporasi dalam arti sempit adalah badan hukum sedangkan
dalam pengertian yang luas berbentuk badan hukum atau tidak badan hukum.Korporasi
dalam hukum pidana lebih luas pengertiannya bila dibandingkan dengan hukum
perdata, karena pada hukum perdata korporasi hanya berkedudukan sebagai badan
hukum sedangkan di hukum pidana korporasi dapatlah sebagai badan hukum maupun
non badan hukum.[4]
Dengan diakomodirnya kedudukan korporasi sebagai
subjek hukum pidana umum, sebagaimana yang terjadi dalam perubahan KUHP Belanda
(W.v.S) tahun 1976, menjadikan korporasi dapat dianggap sebagai pelaku tindak
pidana seperti manusia sebagai subjek hukum. Berbeda dengan sebelumnya, dimana
kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana hanya diakomodir oleh
Undang-Undang di luar KUHP yang mengatur mengenai delik-delik tertentu. Pengaturan
di luar KUHP tersebut menjadikan pengaturan terhadap korporasi sebagai subjek
hukum pidana dan pertanggungjawaban pidanya berbeda antara satu peraturan
dengan peraturan lainnya. Tentunya hal ini akan menimbulkan ketidakpastian
mengenai pengaturan pidana seperti apa yang berlaku terhadap korporasi di
Indonesia. Hal ini yang kemudian diidentifikasi oleh Mardjono Reksodiputro
menjadi beberapa model pertanggungjawaban pidana yang berlaku di Indonesia.
Menurut Prof. Mardjono, menyimpulkan bahwa “kedudukan sebagai pembuat pembuat
dan sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi” ia menemukan tiga system :[5]
a. Pengurus
korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
b. Korporasi
sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab
c. Korporasi
sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab
Dengan
adanya pengaturan dalam R-KUHP tentunya juga akan menjadikan penyeragaman
pengaturan mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana, sehingga tidak ada
perbedaan lagi. Meski demikian, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum
pidana, khususnya dalam R-KUHP, perlu dijabarkan secara lebih mendalam. Hal ini
disebabkan perbedaan secara mendasar antara korporasi dengan manusia yang
merupaka natuurlijk persoon sebagai subjek hukum pidana. Perbedaan tersebut
kemudian berdampak pada beberapa konsep dasar seperti penentuan kesalahan, pembuat
tindak pidana, pertanggungjawaban pidana
dari korporasi itu sendiri, dan masih banyak hal lainnya. Berkaitan dengan
kesalahan, maka anasir kesalahan sebagai dasar pertanggungjawaban pidana pada
dasarnya ditujukan untuk manusia sebagai natuurlijk persoon atau subjek hukum
alami, bukan korporasi sebagai subjek hukum atau recht persoon. Hal ini dapat
terlihat jelas pada anasir kesalahan dalam arti luas, khususnya pada anasir
kesalahan dalam arti sempit berupa kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa). Van
Bemmelen bahkan mengemukakan keraguan akan adanya kesalahan pada korporasi,
dikarenakan unsur ini hanya dapat dinyatakan jika seorang persona alamiah
dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan suatu perbuatan pidana.[6]
Dan ada pula karakteristik yang
dimiliki oleh kejahatan korporasi yang membedakan dengan kejahatan konvensional
adalah :[7]
a.
Kejahatan tersebut
tidak dapat dilihat karena tertutupi oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan
rutin serta melibatkan keahlian profesioanl dan sistem organisasi yang
kompleks;
b.
Kejahatan tersebut
sangat kompleks;
c.
Terjadinya penyebaran
tanggung jawab yang semakin luas;
d.
Penyebaran korban yang
sangat luas;
e.
Hambatan dalam
pendeteksian dan penuntutan;
f.
Peraturan yang tidak
jelas;
g. Pelaku
kejahatan korporasi pada umumnya tidak melanggar undang-undang tetapi apa yang
dilakukan merupakan perbuatan yang illegal.
Guna menemukan definisi korporasi
dalam hukum pidana, maka hal ini dapat berangkat dari beberapa pendapat para
sarjana hukum. Menurut Rudi Prasetyo, kata korporasi merupakan sebutan yang
lazim digunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa
disebut sebagai badan hukum atau rechtspersoon dalam bahasa Belanda dan legal
entities atau corporation dalam bahasa Inggris pada bidang hukum lain khususnya
hukum perdata.[8]
Merujuk pada pengertian korporasi dalam hukum
perdata, bahwa apa yang dimaksud korporasi itu adalah badan hukum, maka
terhadap korporasi memiliki definisi tersendiri. R. Subekti mendefinisikan badan hukum pada
pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan
melakukan perbuatan seperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat
digugat atau menggugat di depan hakim.Terhadap apa saja yang dianggap sebagai
badan hukum punya pengaturannya tersendiri. Karenanya terhadap korporasi dalam
hukum perdata subjeknya lebih dibatasi. Contoh korporasi dalam hukum perdata
yang secara umum dikenal merupakan badan hukum adalah Perseroan Terbatas,
Koperasi, dan Yayasan.[9]
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pengertian
mengenai korporasi dalam hukum perdata yang terbatas dan identik dengan badan
hukum, maka perlu diketahui pula apakah definisi korporasi yang demikian juga
berlaku dalam hukum pidana? Jika merujuk pada sejumlah peraturan yang mengakui
korporasi sebagai subjek hukum pidana maka akan ditemukan mengenai apa saja
yang termasuk sebagai korporasi dalam hukum pidana. Undang-Undang Darurat Nomor
7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi dalam Pasal 15 ayat (1) mengatur bahwa: “Jika suatu tindak pidana
ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu
perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana
dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik
terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap
mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap
kedua-duanya”. Dari isi pasal tersebut dapat diketahui bahwa korporasi dalam
hukum pidana, selain berbentuk badan hukum, juga termasuk yang bukan badan
hukum sepanjang masuk kedalam kategori yang termasuk dalam rumusan pasal
tersebut. Definisi dari korporasi yang
serupa ternyata juga dikemukakan oleh Van Bemmelen dalam bukunya. Mengutip
pernyataannya dari buku tersebut: “ ...dalam naskah dari bab ini selalu dipakai
dalil umum “korporasi”, yang mana termasuk semua badan hukum khusus dan umum,
perkumpulan, yayasan, dan pendeknya semua perseroan yang tidak bersifat
alamiah.[10]
R-KUHP revisi 2015 sendiri juga mendefinisikan
korporasi baik yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 189yang mengatur bahwa: “Korporasi adalah kumpulan
terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum”
Berdasarkan
pembahasan mengenai definisi korporasi, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang diciptakan oleh hukum yang berasal
dari gabungan orang guna mencapai suatu tujuan. Berbicara mengenai korporasi
itu sendiri tidak akan terlepas dari hukum perdata, karena konsep mengenai
korporasi banyak diambil dari hukum perdata. Meski demikian, definisi korporasi
dalam hukum pidana memiliki pengertian yang lebih luas bila dibandingkan dengan
pengertian korporasi dalam hukum perdata, yang terbatas hanya terhadap badan
hukum. Definisi ini pula telah digunakan dalam R-KUHP revisi 2015.
[1] Mardjono
Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta : Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007, hlm. 69
[2] Ibid, hlm.101-102
[3]Prijatno, Dwija &
Muladi., Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta : Prenadanmedia, 2013,
hlm.23
[4] Ibid, hlm.33
[7]Ali, Mahrus.,
Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013
[8] Muladi, Dwidja
Priyatno, mengutip dari Rudi Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam Proses
Modernisasi dan Penyimpangan-penyimpangannya, makalah disampaikan pada Seminar
Nasional Kejahatan Korporasi di FH UNDIP, (Semarang: 23 – 24 November 1989),
hlm. 2
[10] 6J.M. Van Bemmelen,
Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Binacipta, 1986),
hal 239.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar