Selasa, 11 September 2018

Rekonseptualisasi Korporasi dari Ranah Perdata ke Pidana


Dalam ketentuan umum KUHP Indonesia masih dianut asas umum bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia (natuurlijke persoon), sehingga fiksi badan hukum (rechtpersoon) tidaklah berlaku dalam hukum pidana.Namun beberapa peraturan perundang-undangan di luar KUHP telah mulai menyimpang dari asas umum tersebut.[1]
Pasal 59 KUHP berbunyi dalam hal-hal di mana ditentukan pidana karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang temyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran, tidak dipidana.
Beberapa peraturan diluar KUHP telah menyimpang dari Pasal 59 KUHP tersebut, dimana korporasi dinyatakan sebagai subyek tindak pidana telah dimuat dalam Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) dan perubahannya, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Diterimanya korporasi sebagai subyek hukum pidana, maka hal ini berarti telah terjadi perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader). Permasalahan yang segera muncul adalah sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana adalah harus adanya kesalahan (schuld) pada pelaku. Bagaimanakah kita harus mengkonstruksikan kesalahan dari suatu korporasi ? Ajaran yang banyak dianut sekarang ini memisahkan antara perbuatannya yang melawan hukum (menurut hukum pidana) dengan pertanggungjawaban menurut hukum pidana.Perbuatan melawan hukum ini dilakukan oleh suatu korporasi.Ini sekarang telah dimungkinkan.Tetapi bagaimana kita mempertimbangkan tentang pertanggungjawabannya?Dapatkah dibayangkan pada korporasi terdapat unsur kesalahan (baik kesengajaan atau dolus ataupun kelalaian atau culpa)? Dalam keadaan pelaku adalah manusia, maka kesalahan ini dikaitkan dengan celaan (verwijtbaarheid; blameworthiness) dank arena itu berhubungan dengan mentalitas atau psyche pelaku.Bagaimana halnya dengan pelaku yang bukan manusia, yang dalam hal ini adalah korporasi?[2]
Salah satu kasus dimana penegak hukum menuntut korporasi sebagai pelaku tindak pidana yang walaupun pada akhirnya korporasi tersebut tidak dipidana adalah Perusahaan Pertambangan PT. Newmont Minahasa Raya dalam kegiatan pertambangan emas telah terjadi tindak pidana pencemaran lingkungan dan Dampak akibat kegiatan penambangan PT. NMR terjadi mulai tahun 1996–1997 dengan 2000-5000 kubik ton limbah setiap hari di buang oleh PT. NMR ke perairan di teluk Buyat yang di mulai sejak Maret 1996. Menurut PT. NMR, buangan limbah tersebut, terbungkus lapisan termoklin pada kedalaman 82 meter. Nelayan setempat sangat memprotes buangan limbah tersebut.Apalagi diakhir Juli 1996, nelayan mendapati puluhan bangkai ikan mati mengapung dan terdampar di pantai.Kematian misterius ikan-ikan ini berlangsung sampai Oktober 1996.Kasus ini terulang pada bulan juli 1997. Kematian ikan-ikan yang mati misterius ini, oleh beberapa nelayan dan aktivis LSM di bawa ke laboratorium Universitas Sam Ratulangi Manado dan Laboratorium Balai Kesehatan Manado, tetapi kedua laboratorium tersebut menolak untuk meneliti penyebab kematian ikan-ikan tersebut.
Korporasi (Corporation dalam bahasa Inggris, Corporatie dalam bahasa Belanda) yang secara etimologis berasal dari bahasa latin yaitu Corporatio dengan corpus merupakan badan dan tio untuk menunjukan suatu kata benda.[3]Menurut Black law dictionary, korporasi dalam arti sempit adalah badan hukum sedangkan dalam pengertian yang luas berbentuk badan hukum atau tidak badan hukum.Korporasi dalam hukum pidana lebih luas pengertiannya bila dibandingkan dengan hukum perdata, karena pada hukum perdata korporasi hanya berkedudukan sebagai badan hukum sedangkan di hukum pidana korporasi dapatlah sebagai badan hukum maupun non badan hukum.[4]
Dengan diakomodirnya kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana umum, sebagaimana yang terjadi dalam perubahan KUHP Belanda (W.v.S) tahun 1976, menjadikan korporasi dapat dianggap sebagai pelaku tindak pidana seperti manusia sebagai subjek hukum. Berbeda dengan sebelumnya, dimana kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana hanya diakomodir oleh Undang-Undang di luar KUHP yang mengatur mengenai delik-delik tertentu. Pengaturan di luar KUHP tersebut menjadikan pengaturan terhadap korporasi sebagai subjek hukum pidana dan pertanggungjawaban pidanya berbeda antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. Tentunya hal ini akan menimbulkan ketidakpastian mengenai pengaturan pidana seperti apa yang berlaku terhadap korporasi di Indonesia. Hal ini yang kemudian diidentifikasi oleh Mardjono Reksodiputro menjadi beberapa model pertanggungjawaban pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Prof. Mardjono, menyimpulkan bahwa “kedudukan sebagai pembuat pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi” ia menemukan tiga system :[5]
a.       Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
b.      Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab
c.       Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab

Dengan adanya pengaturan dalam R-KUHP tentunya juga akan menjadikan penyeragaman pengaturan mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana, sehingga tidak ada perbedaan lagi. Meski demikian, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana, khususnya dalam R-KUHP, perlu dijabarkan secara lebih mendalam. Hal ini disebabkan perbedaan secara mendasar antara korporasi dengan manusia yang merupaka natuurlijk persoon sebagai subjek hukum pidana. Perbedaan tersebut kemudian berdampak pada beberapa konsep dasar seperti penentuan kesalahan, pembuat tindak pidana,  pertanggungjawaban pidana dari korporasi itu sendiri, dan masih banyak hal lainnya. Berkaitan dengan kesalahan, maka anasir kesalahan sebagai dasar pertanggungjawaban pidana pada dasarnya ditujukan untuk manusia sebagai natuurlijk persoon atau subjek hukum alami, bukan korporasi sebagai subjek hukum atau recht persoon. Hal ini dapat terlihat jelas pada anasir kesalahan dalam arti luas, khususnya pada anasir kesalahan dalam arti sempit berupa kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa). Van Bemmelen bahkan mengemukakan keraguan akan adanya kesalahan pada korporasi, dikarenakan unsur ini hanya dapat dinyatakan jika seorang persona alamiah dengan sengaja atau karena kelalaiannya melakukan suatu perbuatan pidana.[6]
Dan ada pula karakteristik yang dimiliki oleh kejahatan korporasi yang membedakan dengan kejahatan konvensional adalah :[7]
a.    Kejahatan tersebut tidak dapat dilihat karena tertutupi oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin serta melibatkan keahlian profesioanl dan sistem organisasi yang kompleks;
b.    Kejahatan tersebut sangat kompleks;
c.    Terjadinya penyebaran tanggung jawab yang semakin luas;
d.   Penyebaran korban yang sangat luas;
e.    Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan;
f.     Peraturan yang tidak jelas;
g.    Pelaku kejahatan korporasi pada umumnya tidak melanggar undang-undang tetapi apa yang dilakukan merupakan perbuatan yang illegal.
Guna menemukan definisi korporasi dalam hukum pidana, maka hal ini dapat berangkat dari beberapa pendapat para sarjana hukum. Menurut Rudi Prasetyo, kata korporasi merupakan sebutan yang lazim digunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa disebut sebagai badan hukum atau rechtspersoon dalam bahasa Belanda dan legal entities atau corporation dalam bahasa Inggris pada bidang hukum lain khususnya hukum perdata.[8]
Merujuk pada pengertian korporasi dalam hukum perdata, bahwa apa yang dimaksud korporasi itu adalah badan hukum, maka terhadap korporasi memiliki definisi tersendiri.  R. Subekti mendefinisikan badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.Terhadap apa saja yang dianggap sebagai badan hukum punya pengaturannya tersendiri. Karenanya terhadap korporasi dalam hukum perdata subjeknya lebih dibatasi. Contoh korporasi dalam hukum perdata yang secara umum dikenal merupakan badan hukum adalah Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Yayasan.[9]
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa pengertian mengenai korporasi dalam hukum perdata yang terbatas dan identik dengan badan hukum, maka perlu diketahui pula apakah definisi korporasi yang demikian juga berlaku dalam hukum pidana? Jika merujuk pada sejumlah peraturan yang mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana maka akan ditemukan mengenai apa saja yang termasuk sebagai korporasi dalam hukum pidana. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 15 ayat (1) mengatur bahwa: “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya”. Dari isi pasal tersebut dapat diketahui bahwa korporasi dalam hukum pidana, selain berbentuk badan hukum, juga termasuk yang bukan badan hukum sepanjang masuk kedalam kategori yang termasuk dalam rumusan pasal tersebut.  Definisi dari korporasi yang serupa ternyata juga dikemukakan oleh Van Bemmelen dalam bukunya. Mengutip pernyataannya dari buku tersebut: “ ...dalam naskah dari bab ini selalu dipakai dalil umum “korporasi”, yang mana termasuk semua badan hukum khusus dan umum, perkumpulan, yayasan, dan pendeknya semua perseroan yang tidak bersifat alamiah.[10]
R-KUHP revisi 2015 sendiri juga mendefinisikan korporasi baik yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 189yang mengatur bahwa: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”
Berdasarkan pembahasan mengenai definisi korporasi, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang diciptakan oleh hukum yang berasal dari gabungan orang guna mencapai suatu tujuan. Berbicara mengenai korporasi itu sendiri tidak akan terlepas dari hukum perdata, karena konsep mengenai korporasi banyak diambil dari hukum perdata. Meski demikian, definisi korporasi dalam hukum pidana memiliki pengertian yang lebih luas bila dibandingkan dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata, yang terbatas hanya terhadap badan hukum. Definisi ini pula telah digunakan dalam R-KUHP revisi 2015.


[1] Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007, hlm. 69
[2] Ibid, hlm.101-102
[3]Prijatno, Dwija & Muladi., Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta : Prenadanmedia, 2013, hlm.23
[4] Ibid, hlm.33
[5] Ibid, hal. 72.
[6] Ibid., hlm. 233
[7]Ali, Mahrus., Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013
[8] Muladi, Dwidja Priyatno, mengutip dari Rudi Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan Penyimpangan-penyimpangannya, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di FH UNDIP, (Semarang: 23 – 24 November 1989), hlm. 2
[9] Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia, Jakarta, 2010, hal. 5
[10] 6J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Binacipta, 1986), hal 239.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar