Selasa, 11 September 2018

Menganalisis Pasal 156a KUHP Mengenai Tindak Pidana Penodaan Agama


Indonesia merupakan Negara yang memiliki macam ragam budaya, suku, ras, golongan dan agama. Dalam hal agama sendiri, Indonesia memiliki 5 agama yang diyakini yakni, Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Hindu. Setiap warga Negara berhak untuk memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing. Hal ini tidak terlepas dari peran Negara dalam melindungi hak-hak warga Negara yang memeluk agamanya masing-masing, maka dalam hal ini pentingnya sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal yang berkaitan dengan agama. Perlindungan hukum yang dimaksud apabila ada sebuah konflik antar umat beragama maka Negara ikut turun tangan dalam permasalahan tersebut. Seperti yang diketahui, Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang berasaskan agama. Contohnya saja posisi sila pertama dalam pancasila yaitu ketuhanan yang maha esa, agama dijadikan sebagai moral dan norma utama dalam segi kehidupan apapun.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam yang berkaitan dengan agama tentu saja telah diatur di dalam Undang-Undang, mengapa hal tersebut demikian ? Karena untuk melindungi setiap warga Negaranya untuk menciptakan kedamaian antar umat beragama, agar tidak terjadi diskriminasi dan perpecahan. Hal tersebut juga dituliskan dalam Undang-Undang Dasar Negara kita dalam pasal 28(e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 dimana, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.” Hal tersebut ditegaskan lagi dalam Pasal 29(1) “Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.” (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Dalam UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normative bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 menegaskan : (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.”
Dari yang dijelaskan sebelumnya, peran Negara (pemerintah) adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk menjamin kebebasan dan berkeyakinan dan segala sesuatu yang menjadi turunannya. Meski secara konstitusi jaminan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan implementasi masih sangat lemah. Bahkan ada kesan, paradigm dan perspektif pemerintah dalam melihat agama dan segala keragamannya tidak berubah. Keragaman masih dianggap sebagai ancaman daripada kekayaan. Watak Negara yang ingin sepenuhnya menguasai segi-segi kehidupan dalam masyarakat, terutama keyakinan.
Dalam rangka memberikan perlindungan hukum atas adanya kepentingan hukum bagi setiap warga Negara tersebut, maka ketentuan tentang delik penodaan terhadap agama harus diatur dalam RUU KUHP. Oleh karena itu perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai delik agama dapat ditangani secara professional dan proposional oleh aparat penegak hukum. Dengan demikian Negara Indonesia yang memiliki beragam macam agama, suku, golongan, ras dan kelomok ini dapat terhindar dari hal-hal yang dapat memecahbelahkan persatuan dan kesatuan warga Negara khusunya konflik-konflik antar umat beragama.[1]
Tindak pidana dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut orang di Indonesia itu diatur dalam pasal 156a KUHP, yang rumusannya adalah sebagai berikut :
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan senagja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :
a.       Yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b.      Dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan ke tuhanan yang maha esa.
Ketentuan pidana yang  diatur dalam pasal 156 KUHP ini pada dasarnya melarang orang :
a.       Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang pada pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b.      Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melkaukan perbuatan, dengan maksud supaya orang tidak menganut agama papun juga yang bersendikan ke tuhanan yang maha esa.
Tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 156a KUHP tersebut di atas terdiri dari :
a.       Unsure subjektif : dengan snegaja
b.      Unsure2 objektif :
1.      Di dpean umum;
2.      Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
3.      Yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Tindak pidana kedua yang diatur dalam pasal 156a KUHP tersebut di atas terdiri dari :
a.       Unsur-unsur subjektif :
1.      Dengan sengaja;
2.      Dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan ketuhanan yang maha esa
b.      Unsur-unsur objektif :
1.      Di depan umum
2.      Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan.
Unsur subjektif ‘dengan sengaja’ dari tindak pidana pertama yag diatur dalam pasal 156a KUHP tersebut di atas harus diartikan bukan semata-mata sebagai ‘opzet als oogmerk’ saja, melainkan juga dapat diartikan ‘opzet bij zekerheidsbewustzijn’ dan sebgai ‘opzet mogelijkheidsbewustzijn’.[2]
Karena unsur ‘dengan sengaja’ itu oleh pembentuk undang-undang telah ditempatkan di depan unsur-unsur yang lain dari tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 156a KUHP, maka ‘kesengajaan’ pelaku itu juga harus ditujukan terhadap unsure-unsur yang lain dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 165a KUHP tersebut. Unsur-unsur itu adalah :
1.      Di depan umum;
2.      Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan;
3.      Yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan;
4.      Terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Itu berarti bahwa di sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku harus dapat dibuktikan :
1.      Bahwa pelaku telah ‘menghendaki’ mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan;
2.      Bahwa pelaku ‘mengetahui’ perasaan yang ia keluarkan atau perbuatam yang ia lakukan itu telah terjadi di depan umum;
3.      Bahwa pelaku ‘mengetahui’ perasaan yang ia keluarkan atau perbuatan yang ia lakukan itu sifatnya bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan;
4.      Bahwa pelaku ‘mengetahui’ perasaan bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan itu telah ia tujukan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Jika ‘kehendak’ atau salah satu ‘pengetahuan’ pelaku sebagaima yang dimaksudkan di atas itu ternyata tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus memberikan putusan bebas atau ‘vrijspraak’ bagi pelaku.
Unsur objektif pertama dari tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 156a KUHP itu ialah ‘di depan umum’. Dengan dipakainya kata-kata ‘di depan umum’ dalam rumusan tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP itu tidak berarti, bahwa perasaan yang dikeluarkan pelaku atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu selalu harus terjadi di tempat2 umum, melainkan cukup jika perasaan yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh public atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu dapat disebut dengan publik.
Perasaan yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia itu dpaat saja dikeluarkan oleh pelaku di suatu tempat umum, artinya suatu tempat yang dpaat di datangi oleh setiap orang, akan tetapi jika perasaan yang ia keluarkan itu ternyata tidak dapat didengar oleh publik, maka tindaknnya itu bukan merupakan tindak pidana seperti yang dimaksudkan dalam pasal 156a KUHP.
Unsur objektif kedua dari tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 156a KUHP itu adalah ‘mengeluarkan perasaan’ atau ‘melakukan perbuatan’. Itu berarti bahwa perilkau yang terlarang dalam pasal 156a KUHP itu dapat dilakukan oleh pelaku, baik dengan lisan maupun dengan tindakan.
Unsur objektif ketiga dari tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 156 a KUHP itu ialah ‘yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di indonesia’.
Yang dimaksudkan dengan agama di dalam pasal 156a KUHP itu adalah salah satu agama yang diakui di Indoensia, masing-masing yakni agama Hindu, Budha, Kristen dan Islam.
Tentang perasaan atau perbuatan mana, yang data dipandnag sebagai perasaan atau perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalhgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, undnag-undnag ternyata tidak memberikan penjelasannya, dan agaknya pembentuk undnag-undnag telah menyerahkan kepada para hakim untuk memberikan penafsiran mereka dengan bebas tentang perasaan atau perbuatan mana yang dpaat di pandnag sebagai bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Unsur subjektif pertama dari tindak pidana kedua yang diatur dalam pasal 156a KUHP itu adalah ‘dengan sengaja’. Seperti halnya dengan unsure subjektif ‘dengan snegaja’ dalam rumusan tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 156a KUHP yang telah dibicarakan di atas, unsure subjektif ‘dengan sengaja’ dalam rumusan tindak pidana kedua yang diatur dalam pasal 156a KUHP in, juga harus diartikan bukan semata mata sebagai ‘opzet als oogbewustzijin’ dan sebagai ‘opzet bij mogelijkheidsbewustzijin’ atau yang dalam doktrin juga sering disebut sebgaai ‘dolus eventualis’ ataupun juga sebagai ‘voorwaard elijke opzet’.
Unsur-unsur lainnya dari tindak pidana kedua yang diatur dalam pasal 156a KUHP sperti yang dimaksudkan di atas ialah unsur-unsur :
1.      Di depan umum
2.      Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
3.      Dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan ke-tuhanan yang maha esa.
Dengan demikian, agar seseorang pelaku itu dpaat dinyatakan sebagai terbukti telah memenuhi semua unsure dari tindak pidana kedua yang diatur dalam pasal 156a KUHP, hingga ia dinyatakan terbukti bersalah telah melakukan tidak pidana kedua seperti yang dimaksudkan dalam pasal 156a KUHP, maka di sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku itu harus dapat dibuktikan :
a.       Bahwa pelaku telah ‘menghedaki’ mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan seperti yang dimaksudkan dalam pasal 156a KUHP;
b.      Bahwa pelaku ‘mengetahui’ perasaan yang ia keluarkan atau perbuatan yang ia lakukan itu telah terjadi di depan umum
c.       Bahwa pelaku telah ‘menghendaki’ agar orang tidak menganut agam apapun juga yang bersendikan ke tuhanan yang maha esa.


[1] Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2010, hal. 173.
[2] Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,DIkutip dari Lamintang, Delik-Delik Khusus, Sinar Baru, Bandung, 1987. Hal.465.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar