Selasa, 11 September 2018

Justice Collabolator, Sang Pelaku yang Kooperatif


        
        Berkaca dari kasus mantan bendahara umum Partai Demokrat yag menjadi tersangka dibeberapa kasus seperti wisma atlet, dan hambalang yakni Anas Urbaningrum. Beliau merupakan produk politik, yang telah terjadi adalah dirinya mengajukan diri menjadi seorang Justice Collabolator. Ia melampiaskan ‘dendam’ politiknya kepada partainya sendiri dan mantan rekanannya yang dianggap menjadikan dirinya pesakitan di KPK. Pada saat iyu KPK mencabut kasasi atas putusan vonis 6 tahun yang dijatuhkan kepada istri Nazarrudin, Neneng Sri Wahyuni.
Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, awalnya tidak dikenal dengan istilah justice collabolator, namun konsep ini lahir di dalam praktek hukum acara pidana di Indonesia. Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, istilah justice collabolator sebagai konsep tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana Amerika Serikat.[1] Istilah justice collabolator merupakan perkembangan dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Singkatnya, yang dimaksud dengan justice collabolator adalah seorang “pelaku yang kooperatif” dalam membantu penegak hukum “membongkangkar tuntas” kejahatan yang dipersangkakan dan akan didakwa kepadanya. Dengan pemahaman seperti ini, maka disimpulkan sudah jelas ada kejahatan dan sudah ada seseorang tersangka-pelaku. Apabila konsepnya seperti itu, maka tersangka-pelaku adalah hasil penyidikan dan bukan orang yang terpanggil secara moral untuk membantu dibongkarnya kejahatan. Tentu mereka berharap ada rasa terima kasih sebagai imbalan kerja sama mereka ini, dan itu yang mereka harapkan tentunya berhubungan dengan keringan dakwaan kejahatan dan tuntutan pidana kepada mereka.[2]
            United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) memberikan definisi whistleblower dalam kejahatan terorganisir dengan arti yang luas, dengan klasifikasi justice collabolator, victim witness, other types,of witness (innocent bystanders, expert witness, and others). Justice collabolator (kolabolator keadilan) adalah saksi yang juga pelaku dari sebuah kejahatan.[3] Pendapat mengenai Justice Collabolator dalam United Nations Office on Drugs and Crime merupakan :[4]
Seseorang yang terlibat dalam suatu pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh atau berhubungan dengan organisasi criminal yang memiliki pengetahuan penting tentang struktur, metode operasi, dan kegiatan organisasi tersebut serta hubungan organisasi tersebut dengan kelompok lain. Kebanyakan dari mereka bekerja sama dengan harapan mereka dapat menerima kekebalan atau setidaknya keringan hukuman penjara dan perlindungan fisik bagi diri dan keluarga mereka.
            Adapun lima syarat yang harus dipenuhi oleh seorang tersangka untuk menjadi Justice Collabolator :[5]
a.       Pertama, tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana yang serius dan atau terorganisasi, seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba, terorisme, TPPU, trafficking, kehutanan. ;
b.      Kedua, keterangan yang diberikan signifikan, relevan, dan andal;
c.       Ketiga, JC bukan pelaku utama dalam kasus yang diungkapkannya;
d.      Keempat, ia mengakui tindakannya disertai kesediann mengembalikan asset yang diperoleh dari kasus tersebut secara tertulis; dan
e.       Kelima, bekerjasama atau kooperatif dengan penegak hukum termasuk tidak buron, adanya ancaman yang kemudian mendapatkan perlindungan dari LPSK bahkan bisa juga dari lembaga lainnya.
            Syarat penetapan sebagai Justice Collabolator  adalah tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana serius atau terorganisir. Kemudian, saksi pelaku yang bekerjasama mau memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk untuk mengungkap suatu tindak pidana, justice collabolator dalam peraturan bersama itu dikategorikan sebagai bukan pelaku utama dalam tindak pidana yang dia ungkap. Diisyaratkan mereka bersedia untuk mengembalikan sejumlah asset yang diperolehnya. Syarat lain adalah adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran adanya ancaman. Juga tekanan secara fisik dan psikis terhadap saksi pelaku dan keluarganya apabila mengungkap kasus tersebut. Dalam peraturan bersama itu ditekankan, justice collabolator adalah saksi pelaku yang bekerjasama. Atau berdasarkan rekomendasi aparat penegak hukum terkait yang mengajukan permohonan perlindungan PLSK apabila memenuhi syarat-syarat tersebut.[6]        
            Konsep justice collabolator diyakini sebagian kalangan sebagai instrument untuk mengungkap tabir kejahatan terorganisir seperti Narkotika, justice collabolator  merupakan saksi pelaku yang bekerja sama dimana yang bersangkutan sebagai pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, mengakui perbuatannya dan bersedia memberikan kesaksian penting tentang keterlibatan pihak-pihak lain dalam proses peradilan.
            Whistleblower dan justice collabolator merupakan “alat penting untuk melawan kejahatan terorganisir”. Metode kerja-metode kerja dalam sistem hukum pidana yang ada menunjukan kelemahan karena seringkali belum mampu mengungkap, melawan, dan memberantas berbagai kejahatan terorganisir. Di dalam praktek peradilan aparat hukum sering kali menemukan berbagai kendala yuridis dan nonyuridis untuk mengungkap tuntas dan menemukan kejelasan suatu tindak pidana, terutama yang menghadirkan saksi-saksi kunci dalm proses hukum sejak penyidikan sampai proses peradilan.[7]
            Justice  collabolator  atau collaborator Of Justice dapat diartikan sebagai pelaku tindak pidana atau bagian dari tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama atau segala bentuk kejahatan terorganisir yang bersedia untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian mengenai tindak pidana tersebut dengan tujuan mendapatkan keuntungan-keuntungan, seperti tidak dilakukannya penuntutan oleh penuntut umum atau diberikannya keringanan hukuman dari hakim.
            Justice collabolator memiliki peranan besar dalam membantu penyidik dan penuntut umum dalam memberikan suatu perkara pidana karena sebagaimana diungkapkan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), orang tersebut memiliki pengetahuan penting tentang struktur, metode operasi, dan kegiatan organisasi tersebut serta hubungan atau jaringan organisasi tersebut dengan kelompok lain. Kerjasama tersebut dapat berupa pemberian informasi berharga yang dapat mencegah terealisasikannya suatu tindak pidana yang sudah direncanakan ataumembantu mengidentifikasi pelaku tindak pidana yang telah terjadi.
           
           


[1] Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan tentang Justice Collabolator dan Bentuk Perlindungannya, (Jakarta : yang disampaikan dalam ceramah CLE Komisi Hukum Nasional RI, 2010)
[2] Azy Tyawhardana, Tinjauan Atas Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collabolator) di Dalam Tindak Pidana Tertentu, Terhadap Pelaksanaan Perlindungan Saksi Sesuai Dengan Undang-Undnag No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, (Jakarta : Tesis Universitas Indonesia, 2013), hal. 49.
[3] Buku kompilasi, Praktek Terbaik Perlindungan Saksi Dalam Proses Pidana Yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir, Oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC)
[4] United Nations. Convention Againts Transnational Organized Crime (UNTOC). General Assembly  resolution 55/25 of 15 November 2000. Konvensi ini diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang pengesahan United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
[6] Ibid
[7] Prof. Mardjono Reksodiputro, pembocor rahasia/whisteblower dan penyadapan (wiretapping, electronic interception) dalam menanggulangi kejahatan di Indonesia, wacana goverminy board, Hlm. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar