Berkaca dari kasus mantan bendahara umum Partai
Demokrat yag menjadi tersangka dibeberapa kasus seperti wisma atlet, dan
hambalang yakni Anas Urbaningrum. Beliau merupakan produk politik, yang telah
terjadi adalah dirinya mengajukan diri menjadi seorang Justice Collabolator. Ia melampiaskan ‘dendam’ politiknya kepada
partainya sendiri dan mantan rekanannya yang dianggap menjadikan dirinya
pesakitan di KPK. Pada saat iyu KPK mencabut kasasi atas putusan vonis 6 tahun
yang dijatuhkan kepada istri Nazarrudin, Neneng Sri Wahyuni.
Dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia, awalnya tidak dikenal dengan istilah justice collabolator, namun konsep ini lahir di dalam praktek hukum
acara pidana di Indonesia. Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, istilah justice collabolator sebagai konsep
tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana Amerika Serikat.[1]
Istilah justice collabolator
merupakan perkembangan dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Singkatnya, yang
dimaksud dengan justice collabolator adalah
seorang “pelaku yang kooperatif” dalam membantu penegak hukum “membongkangkar
tuntas” kejahatan yang dipersangkakan dan akan didakwa kepadanya. Dengan
pemahaman seperti ini, maka disimpulkan sudah jelas ada kejahatan dan sudah ada
seseorang tersangka-pelaku. Apabila konsepnya seperti itu, maka
tersangka-pelaku adalah hasil penyidikan dan bukan orang yang terpanggil secara
moral untuk membantu dibongkarnya kejahatan. Tentu mereka berharap ada rasa
terima kasih sebagai imbalan kerja sama mereka ini, dan itu yang mereka harapkan
tentunya berhubungan dengan keringan dakwaan kejahatan dan tuntutan pidana
kepada mereka.[2]
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC)
memberikan definisi whistleblower
dalam kejahatan terorganisir dengan arti yang luas, dengan klasifikasi justice collabolator, victim witness, other types,of witness (innocent bystanders, expert witness, and
others). Justice collabolator (kolabolator
keadilan) adalah saksi yang juga pelaku dari sebuah kejahatan.[3]
Pendapat mengenai Justice Collabolator dalam
United Nations Office on Drugs and Crime
merupakan :[4]
Seseorang yang terlibat dalam suatu pelanggaran atau
kejahatan yang dilakukan oleh atau berhubungan dengan organisasi criminal yang
memiliki pengetahuan penting tentang struktur, metode operasi, dan kegiatan organisasi
tersebut serta hubungan organisasi tersebut dengan kelompok lain. Kebanyakan
dari mereka bekerja sama dengan harapan mereka dapat menerima kekebalan atau
setidaknya keringan hukuman penjara dan perlindungan fisik bagi diri dan
keluarga mereka.
Adapun
lima syarat yang harus dipenuhi oleh seorang tersangka untuk menjadi Justice Collabolator :[5]
a.
Pertama,
tindak pidana yang diungkap merupakan tindak pidana yang serius dan atau
terorganisasi, seperti korupsi, pelanggaran HAM berat, narkoba, terorisme,
TPPU, trafficking, kehutanan. ;
b.
Kedua,
keterangan yang diberikan signifikan, relevan, dan andal;
c.
Ketiga,
JC bukan pelaku utama dalam kasus yang diungkapkannya;
d.
Keempat,
ia mengakui tindakannya disertai kesediann mengembalikan asset yang diperoleh
dari kasus tersebut secara tertulis; dan
e.
Kelima,
bekerjasama atau kooperatif dengan penegak hukum termasuk tidak buron, adanya
ancaman yang kemudian mendapatkan perlindungan dari LPSK bahkan bisa juga dari
lembaga lainnya.
Syarat
penetapan sebagai Justice Collabolator adalah tindak pidana yang diungkap merupakan
tindak pidana serius atau terorganisir. Kemudian, saksi pelaku yang bekerjasama
mau memberikan keterangan yang signifikan, relevan dan andal untuk untuk
mengungkap suatu tindak pidana, justice
collabolator dalam peraturan bersama itu dikategorikan sebagai bukan pelaku
utama dalam tindak pidana yang dia ungkap. Diisyaratkan mereka bersedia untuk
mengembalikan sejumlah asset yang diperolehnya. Syarat lain adalah adanya
ancaman yang nyata atau kekhawatiran adanya ancaman. Juga tekanan secara fisik
dan psikis terhadap saksi pelaku dan keluarganya apabila mengungkap kasus
tersebut. Dalam peraturan bersama itu ditekankan, justice collabolator adalah saksi pelaku yang bekerjasama. Atau
berdasarkan rekomendasi aparat penegak hukum terkait yang mengajukan permohonan
perlindungan PLSK apabila memenuhi syarat-syarat tersebut.[6]
Konsep
justice collabolator diyakini
sebagian kalangan sebagai instrument untuk mengungkap tabir kejahatan
terorganisir seperti Narkotika, justice
collabolator merupakan saksi pelaku
yang bekerja sama dimana yang bersangkutan sebagai pelaku tindak pidana
tertentu, tetapi bukan pelaku utama, mengakui perbuatannya dan bersedia
memberikan kesaksian penting tentang keterlibatan pihak-pihak lain dalam proses
peradilan.
Whistleblower dan justice collabolator merupakan “alat penting untuk melawan
kejahatan terorganisir”. Metode kerja-metode kerja dalam sistem hukum pidana
yang ada menunjukan kelemahan karena seringkali belum mampu mengungkap,
melawan, dan memberantas berbagai kejahatan terorganisir. Di dalam praktek
peradilan aparat hukum sering kali menemukan berbagai kendala yuridis dan
nonyuridis untuk mengungkap tuntas dan menemukan kejelasan suatu tindak pidana,
terutama yang menghadirkan saksi-saksi kunci dalm proses hukum sejak penyidikan
sampai proses peradilan.[7]
Justice
collabolator atau collaborator Of Justice dapat diartikan
sebagai pelaku tindak pidana atau bagian dari tindak pidana yang dilakukan
secara bersama-sama atau segala bentuk kejahatan terorganisir yang bersedia
untuk bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk memberikan kesaksian
mengenai tindak pidana tersebut dengan tujuan mendapatkan
keuntungan-keuntungan, seperti tidak dilakukannya penuntutan oleh penuntut umum
atau diberikannya keringanan hukuman dari hakim.
Justice
collabolator memiliki peranan besar dalam membantu penyidik dan penuntut
umum dalam memberikan suatu perkara pidana karena sebagaimana diungkapkan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC),
orang tersebut memiliki pengetahuan penting tentang struktur, metode operasi,
dan kegiatan organisasi tersebut serta hubungan atau jaringan organisasi
tersebut dengan kelompok lain. Kerjasama tersebut dapat berupa pemberian
informasi berharga yang dapat mencegah terealisasikannya suatu tindak pidana
yang sudah direncanakan ataumembantu mengidentifikasi pelaku tindak pidana yang
telah terjadi.
[1] Mardjono
Reksodiputro, Beberapa Catatan tentang
Justice Collabolator dan Bentuk Perlindungannya, (Jakarta : yang
disampaikan dalam ceramah CLE Komisi Hukum Nasional RI, 2010)
[2] Azy Tyawhardana, Tinjauan Atas Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower)
dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collabolator) di Dalam Tindak Pidana
Tertentu, Terhadap Pelaksanaan Perlindungan Saksi Sesuai Dengan Undang-Undnag
No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, (Jakarta : Tesis
Universitas Indonesia, 2013), hal. 49.
[3] Buku
kompilasi, Praktek Terbaik Perlindungan
Saksi Dalam Proses Pidana Yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir, Oleh
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC)
[4] United Nations. Convention Againts Transnational
Organized Crime (UNTOC). General Assembly
resolution 55/25 of 15 November 2000. Konvensi ini diratifikasi dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009 tentang pengesahan United
Nation Convention Againts Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).
[5] Diunduh dari : http://www/depkumham.go.id/berita-utama/924-diskusi-media-mengenai-sistem-hukum-justice-collabolator-dalam-pengungkapan-tindak-pidana-korupsi.
pada
tanggal 29 Maret 2013 pukul 13.00 WIB.
[7] Prof.
Mardjono Reksodiputro, pembocor
rahasia/whisteblower dan penyadapan (wiretapping, electronic interception)
dalam menanggulangi kejahatan di Indonesia, wacana goverminy board, Hlm.
19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar