Selasa, 11 September 2018

Memahami Doktrin Strict Liability di Indonesia


                   
                       Asas tanggungjawab mutlak (strict liability) muncul dari adanya kesadaran pada masyarakat bahwa untuk setiap perbuatan yang dilakukan baik itu perorangan maupun kelompok, maka orang atau kelompok tersebut tidak akan dapat melepaskan diri dari tanggung jawab untuk setiap kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya itu. Biasanya asas tanggungjawab ini selalu dikaitkan dengan ganti rugi. Pada hukum Inggris di abad pertengahan, ganti rugi ini dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk menggantikan pembalasan. Oleh karena itu asas tanggung jawab mutlak tidak dapat dilepaskan dari masalah adanya suatu perbuatan yang menyebabkan terjadinya kerugian sehingga menimbulkan kewajiban untuk memenuhi ganti rugi tersebut.
            Dengan sarana keputusan hakim, common law system mencoba menjawab perkembangan baru di dunia hukum. Pertama kali muncul pada kasus Rylands vs Fletcher pada tahun 1868 yang bertalian dengan jebolnya tanggul air, dikemudian hari menjadi perdebatan yang sangat menarik. Dalam kasus ini penanggungjawab kegiatan tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk memahami kemungkinan gagalnya kondisi tanah yang menjadi tanggung penahanan air, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai memenuhi unsur kesalahan, sebagai salah satu unsur penting dasar gugatan pihak yang dirugikan.[1]
            Asas tanggung jawab mutlak dapat ditemukan juga dalam beberapa peraturan dalam common law system, melalui prinsip pembayaran ganti rugi yang dikenal dalam hukum Amerika tentang Workmen’s Compensation Act dan Employer’s Liability Act yang mengharuskan para majika untuk membayar santunan kepada buruhnya tanpa memperlihatkan adanya unsur kesalahan
            Dari sudut pandang sengketa lingkungan dalam praktek, keadaan factual yang ada pada umumnya dikategorikan sebagai kegiatan yang bersifat abnormally dangerous atau extra-hazardous atau ultra-hazardouz jatuh di bawah teori tanggung jawab mutlak (strict liability) yaitu suatu doktrin yang menyatakan berlakunya sistem tanggung jawab tanpa mempersoalkan adanya kesalahan di pihak pelaku.
            Sistem hukum lingkungan Amerika Serikat berdasarkan National Environmental Policy Act (NEPA) menganut sistem tanggung jawab mutlak berdasarkan Restatment (Second) of Torts 1964 yang menetapkan jenis kegiatan yang tergolong sangat berbahaya (extra hazardous) jika mengandung faktor-faktor sebagai berikut :[2]
1.      Resiko tinggi yang menimbulkan bahaya pada manusia, hewan, tanah dan hak-hak kebendaan, dsb;
2.      Bobot bahanya cukup besar;
3.      Bahaya atau risiko yang ditimbulkan dianggap tidak dapat ditanggulangi dengan upaya biasa;
4.      Kegiatan itu merupakan kegiatan yang biasa dilakukan;
5.      Kegiatannya dianggap kurang tepat untuk dilakukan di tempat itu;
6.      Manfaat kegiatan tersebut pada masyarakat sekitarnya.
                        Di bidang hukum perjanjian Internasional tentang pencemaran lingkungan, juga telah dianut asas tanggung jawab mutlak sebagaimana Nampak dalam Civil Liability Convention 1968 :[3]
                        The civil liability convention provides that where oil escapes or is discharged from a ship and causes damage on territory, including the territorial sea, of a contracting state, the ship owner, subject to three exceptions, is strictly liable for such damage and the cost of any preventive measure taken.
                        Asas tanggung jawab mutlak dapat ditemukan juga dalam beberapa peraturan dalam common law system, melalui prinsip pembayaran ganti rugi yang dikenal dalam hukum Amerika tentang workmen’s compensation act and employer’s liability act yang mengharuskan para majikan untuk membayar santunan kepada buruhnya tanpa memperlihatkan adanya unsur kesalahan.[4]
                        Di Indonesia perkembangan pengaturan asas tanggung jawab mutlak ini dapat ditelusuri dari jaman Code Napoleon yang mengatur tentang tanggung jawab berdasarkan suatu kesalahan. Pasal 1382 Code Napoleon 1804 tersebut menyebutkan :
                        Any act whatever done by a man which causes damages to another obliges him by whose fault the damages to another obliges him by whose fault the damage was caused to repair it.”
                        Dalam perkembangannya, Code Napoleon ini pada tahun 1809 dinyatakan berlaku di Negeri Belanda dan kemudian dirubah menjadi Code Civil pada tahun 1911. Negeri Belanda stelah melepaskan diri dari Perancis kemudian menyusun Burgerlijk Wetboek (BW). Ketentuan yang sama seperti dicantumkan dalam Code Napoleon tersebut kita temukan dalam BW pasal 1401 yang kemudian menjadi Pasal 1365 KUHPerdata Indonesia.[5]
                        Asas tanggung jawab mutlak juga ditemukan di dalam berbagai perjanjian internasional antara lain dalam The International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Demage 1969  dan The International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage of 1971 (yang keduannya telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia) yang mencoba mengatasi kesulitan yang mungkin dihadapi korban-korban pencemaran minyak. Dinyatakan bahwa :[6]
                        The civil liability convention provides that where oil escapes or is discharged from a ship and causes  demage on the territory, including the territorial sea, of a contracting state, the ship power, subject to three exceptions, is strict liable such damage and the cost of any preventive measure taken. The three exceptions are where the demage : (1) Results from war or acts of god; (2) Is wholly caused by an act or omission done by a third party with intent to cause damage; (3) Is wholly caused by negligence or other wrongful act of any government or other authority responsible for the maintenance of lights or other navigational aids. In these three cases the ship owner is not liable at all.
            Dari uraian di atas, Nampak bahwa asas tanggung jawab asas tanggung jawab mutlak lahir dari kebutuhan hukum baru yang didasarkan pada putusan hakim, berkembang melalui pikiran-pikiran para ahli hukum, sebelum memasuki bentuk hukum perundang-undangan dan konvensi internasioanl. Lahirnya asas tanggung jawab mutlak juga dilatarbelakangi oleh perkembangan industry atau dunia usaha yang menggunakan teknomogi berisiko tinggi, yakni berupa akibat atau dampak sangat berbahaya terhadap orang, harta benda dan lingkungan hidup. Dalam perkembangannya, asas tanggung jawab mutlak atau strict liability ini telah menjadi suatu hukum kebiasaan.



[1] N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 313
[2] Daud Silalahi, Identifikasi dan Kriteria Kegiatan-Kegiatan Tertentu Menurut Pasal 21 tentang Tanggung Jawab Mutlak Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup Tahun 1982. Dalam Johanes Widijantoro, Tugas Akhir (Jakarta : Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1996), hal. 40.
[3] R.R. Churchill and A.V.Lowe, The Law of the Sea, (Manchester University Press, 1983), hal.234.
[4] Op.Cit. Daud Silalahi, hlm. 50.
[5] Ibid, hlm. 51.
[6] Op.Cit, R.R. Churchill, hal. 234.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar