Asas
tanggungjawab mutlak (strict liability)
muncul dari adanya kesadaran pada masyarakat bahwa untuk setiap perbuatan yang
dilakukan baik itu perorangan maupun kelompok, maka orang atau kelompok
tersebut tidak akan dapat melepaskan diri dari tanggung jawab untuk setiap
kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya itu. Biasanya asas tanggungjawab
ini selalu dikaitkan dengan ganti rugi. Pada hukum Inggris di abad pertengahan,
ganti rugi ini dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk menggantikan
pembalasan. Oleh karena itu asas tanggung jawab mutlak tidak dapat dilepaskan
dari masalah adanya suatu perbuatan yang menyebabkan terjadinya kerugian
sehingga menimbulkan kewajiban untuk memenuhi ganti rugi tersebut.
Dengan sarana keputusan hakim, common law system mencoba menjawab perkembangan
baru di dunia hukum. Pertama kali muncul pada kasus Rylands vs Fletcher pada
tahun 1868 yang bertalian dengan jebolnya tanggul air, dikemudian hari menjadi
perdebatan yang sangat menarik. Dalam kasus ini penanggungjawab kegiatan tidak
memiliki pengetahuan yang memadai untuk memahami kemungkinan gagalnya kondisi
tanah yang menjadi tanggung penahanan air, sehingga tidak dapat dikategorikan
sebagai memenuhi unsur kesalahan, sebagai salah satu unsur penting dasar
gugatan pihak yang dirugikan.[1]
Asas tanggung jawab mutlak dapat ditemukan
juga dalam beberapa peraturan dalam common
law system, melalui prinsip pembayaran ganti rugi yang dikenal dalam hukum
Amerika tentang Workmen’s Compensation
Act dan Employer’s Liability Act
yang mengharuskan para majika untuk membayar santunan kepada buruhnya tanpa
memperlihatkan adanya unsur kesalahan
Dari sudut pandang sengketa
lingkungan dalam praktek, keadaan factual yang ada pada umumnya dikategorikan
sebagai kegiatan yang bersifat abnormally
dangerous atau extra-hazardous
atau ultra-hazardouz jatuh di bawah
teori tanggung jawab mutlak (strict
liability) yaitu suatu doktrin yang menyatakan berlakunya sistem tanggung
jawab tanpa mempersoalkan adanya kesalahan di pihak pelaku.
Sistem hukum lingkungan Amerika
Serikat berdasarkan National Environmental
Policy Act (NEPA) menganut sistem tanggung jawab mutlak berdasarkan Restatment (Second) of Torts 1964
yang menetapkan jenis kegiatan yang tergolong sangat berbahaya (extra hazardous) jika mengandung
faktor-faktor sebagai berikut :[2]
1. Resiko tinggi yang menimbulkan bahaya pada manusia,
hewan, tanah dan hak-hak kebendaan, dsb;
2. Bobot bahanya cukup besar;
3. Bahaya atau risiko yang ditimbulkan dianggap tidak
dapat ditanggulangi dengan upaya biasa;
4. Kegiatan itu merupakan kegiatan yang biasa dilakukan;
5. Kegiatannya dianggap kurang tepat untuk dilakukan di
tempat itu;
6. Manfaat kegiatan tersebut pada masyarakat sekitarnya.
Di bidang hukum
perjanjian Internasional tentang pencemaran lingkungan, juga telah dianut asas
tanggung jawab mutlak sebagaimana Nampak dalam Civil Liability Convention 1968 :[3]
“The civil liability convention provides that where oil escapes or is
discharged from a ship and causes damage on territory, including the
territorial sea, of a contracting state, the ship owner, subject to three
exceptions, is strictly liable for
such damage and the cost of any preventive measure taken.
Asas tanggung jawab
mutlak dapat ditemukan juga dalam beberapa peraturan dalam common law system, melalui prinsip pembayaran ganti rugi yang
dikenal dalam hukum Amerika tentang workmen’s
compensation act and employer’s liability act yang mengharuskan para
majikan untuk membayar santunan kepada buruhnya tanpa memperlihatkan adanya
unsur kesalahan.[4]
Di Indonesia
perkembangan pengaturan asas tanggung jawab mutlak ini dapat ditelusuri dari
jaman Code Napoleon yang mengatur tentang tanggung jawab berdasarkan suatu
kesalahan. Pasal 1382 Code Napoleon 1804 tersebut menyebutkan :
“Any act whatever done by a man which causes damages to another obliges
him by whose fault the damages to another obliges him by whose fault the damage
was caused to repair it.”
Dalam perkembangannya,
Code Napoleon ini pada tahun 1809 dinyatakan berlaku di Negeri Belanda dan
kemudian dirubah menjadi Code Civil pada tahun 1911. Negeri Belanda stelah
melepaskan diri dari Perancis kemudian menyusun Burgerlijk Wetboek (BW). Ketentuan yang sama seperti dicantumkan
dalam Code Napoleon tersebut kita temukan dalam BW pasal 1401 yang kemudian
menjadi Pasal 1365 KUHPerdata Indonesia.[5]
Asas tanggung jawab
mutlak juga ditemukan di dalam berbagai perjanjian internasional antara lain
dalam The International Convention on
Civil Liability for Oil Pollution Demage 1969 dan The
International Convention on the Establishment of an International Fund for
Compensation for Oil Pollution Damage of
1971 (yang keduannya telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia) yang
mencoba mengatasi kesulitan yang mungkin dihadapi korban-korban pencemaran
minyak. Dinyatakan bahwa :[6]
“The civil liability convention provides that where oil escapes or is
discharged from a ship and causes demage
on the territory, including the territorial sea, of a contracting state, the
ship power, subject to three exceptions, is strict liable such damage and the cost of any preventive measure
taken. The three exceptions are where the demage : (1) Results from war or acts
of god; (2) Is wholly caused by an act or omission done by a third party with
intent to cause damage; (3) Is wholly caused by negligence or other wrongful
act of any government or other authority responsible for the maintenance of
lights or other navigational aids. In these three cases the ship owner is not
liable at all.
Dari uraian di atas, Nampak bahwa
asas tanggung jawab asas tanggung jawab mutlak lahir dari kebutuhan hukum baru
yang didasarkan pada putusan hakim, berkembang melalui pikiran-pikiran para
ahli hukum, sebelum memasuki bentuk hukum perundang-undangan dan konvensi
internasioanl. Lahirnya asas tanggung jawab mutlak juga dilatarbelakangi oleh
perkembangan industry atau dunia usaha yang menggunakan teknomogi berisiko
tinggi, yakni berupa akibat atau dampak sangat berbahaya terhadap orang, harta
benda dan lingkungan hidup. Dalam perkembangannya, asas tanggung jawab mutlak
atau strict liability ini telah
menjadi suatu hukum kebiasaan.
[1] N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Edisi Kedua, (Jakarta:
Erlangga, 2004), hal. 313
[2] Daud Silalahi, Identifikasi dan Kriteria Kegiatan-Kegiatan
Tertentu Menurut Pasal 21 tentang Tanggung Jawab Mutlak Dalam Undang-Undang
Lingkungan Hidup Tahun 1982. Dalam Johanes Widijantoro, Tugas Akhir
(Jakarta : Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1996), hal. 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar