Pers dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Pers diterbitkan untuk memenuhi hajat masyrakat untuk memperoleh
informasi secara terus menerus atas peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu
pers mempunyai kedudukan sebagai lembaga kemasyarakatan yang dipengaruhi dan
mempengaruhi lembaga kemasyarakatan lain. Di sisi lain, Pers hidup dalam
keterkaitan dengan sutau organisasi lain, yaitu masyarakat di tempat pers itu
berfungsi.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pers adalah
usaha percetakan dan penerbitan usaha pengumpulan dan penyiaran berita melalui
surat kabar, majalah, dan radio, orang yang bergerak dalam penyiaran berita,
medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi atau
film. Pers (press) atau jurnalisme
adalah proses pengumpulan, evaluasi dan distribusi berita kepada publik. Pers
adalah lembaga sosial dan wahan komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan
jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data
dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pers memiliki peranan penting dalam mewujudkan Hak
Asasi Manusia (HAM) sebagaimana dijamin dalam ketetapan Majelis Pemusyawaratan
Rakyat Republik Indoensia Nomor XVII/MPPR/1998 yang antara lain yang menyatakan
bahwa, “setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan
dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya
Pasal 19 berbunyi, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat, dalam ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa
gangguan, dan untuk mencari, menerima, menyampaikan informasi dan buah pikiran
melalui media apa saja dengan tidak memandang batas-batas wilayah.”
Setelah terbitnya Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun
1999 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982, yang memberi tekanan
kuat pada kemerdekaan pers terutama yang dinyatakan pada pasal 2 dan berbunyi
kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan
prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Selanjutnya pasal 4 ayat 1 menyatakan
kemerdekaan pers menjamin sebagai hak asasi warga Negara.
Pers juga melaksanakan control sosial (social control) untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun
penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Pers juga mempunyai segi lain, bukan
sekedar mencerminkan apa yang terjadi secara reaktif, secara paksa kejadian,
post facktum, tetapi melihat lebih dulu, merencanakan dan mengandekan. Pers
bukan saja ridding the news, tetapi sebutlah sekedar untuk membedakan, making
the news, planning the news. Dari sisi inilah, pers dikatakan tidak sekedar
terbawa oleh peristiwa dan masalah, tetapi semacam membuat, menentukan atau
lebih proposional mempengaruhi agenda.
Pers sebagai media komunikasi dapat berperan dua arah.
Di satu pihak perannya dapat bersifat bottom
up, yaitu menampung dan menyalurkan aspirasi dan pendapat warga. Di lain
pihak perannya bersifat top down,
yaitu dapat menyampaikan kebijkasanaan penguasa. Mengingat peran sebagai
perantara sedemikian penting, maka berbagai upaya perlu dilakukan supaya pers
dapat melasanakan peranannya dengan baik.[1]
Menurut, Prof. Mardjono Reksodiputro, media massa
mendapatkan julukan “the hidden paradise”
(pembujuk tersembunyi).[2]
Melalui media massa saat ini, peran opini yang didapatkan adanya sebuah bujukan
atau pengaruh dari kelompok maupun masyarakat. Media massa juga merupakan suatu
bisnis yang menggiurkan tidak hanya karena high
rate of investement yang diperoleh dari modal yang ditanamnya, tetapi lebih
jauh lagi adalah kekuasaan yang diperolehnya dengan mempengaruhi opini publik.
Kejujuran jurnalisme dalam menyajikan berita dan menseleksi karangan dan iklan masyrakat, merupakan ambang batas
dan penghalang disalahgunakannya kekuasaan media massa mempengaruhi/membujuk
opini publik secara tidak bertanggungjawab.
Pers mempunyai berbagai macam tanggung tanggung jawab.
Salah satunya adalah tanggung jawab hukum.[3]
Berdasarkan ketentuan di dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers (selanjutnya ditulis : UU Nomor 40/1999), dapat disimpulkan
bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(selanjutnya ditulis : KUHP), pada saat sekarang masih tetap berlaku.
Penjelasan pasal 12 tersebut antara lain berbunyi sebagai berikut :
“...sepanjang meyangkut pertanggungjawaban pidana, menganut ketentuan
perundang-undnagan yang berlaku.: Yang dimaksud dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku meliputi juga KUHP, sebab
pada masa berlakunya undang-undang pers yang lama, yaitu UU Nomor 11 Tahun 1966
jo UU Nomor 4 Tahun 1967 jo UU Nomor 21 Tahun 1982, berlaku dualism sistem
pertanggungawaban pidana pers.[4]
Dalam kaitannya dengan tindak pidana pers, apabila
terjadi tindak pidana pers, maka mereka yang tersangkut dalam tindak pidana
tersebut, dipertanggungjawabkan sesuai dengan ajaran penyertaan, sehingga
diantara ada yang dipertanggungjawabkan sebagai pleger, sebagai medepleger,
dan mungkin juga sebagai medeplichtige,
tergantung pada keikutsertaan masing-masing peserta dalam tindak pidana pers.[5]
Pada dasarnya KUHP Indonesia menganut ajaran atau
sistem penyertaan delneming). Adanya
pengecualian terhadap ajaran penyertaan tersebut jika dilihat pada sistem
tanggungjawab yang berhubungan dengan tindak pidana percetakan. Percetakan atau
penerbit yang memenuhi ketentuan Pasal 61 dan 62 KUHP, tidak dapat dihukum
berdasarkan sistem penyertaan.
Dalam kaitanyya dengan penerapan sistem penyertaan
tindak pidana yang dilakukan oleh pers (Delik pers), perlu diketahui mekanisme
redaksional dari pers tersebut. Dengan kata lain, perlu diketahui tentang
lika-liku mekanisme kerja dari pers. Untuk jenis berita straight news, tidak terlampau sulit menentukan siapa yang bersalah
paling besar dan dalam status sebagai apa. Pada straight news, yang seluruhnya berisi fakta dan data, biasanya
seorang wartawan (reporter) dapat mengerjakan sendiri tugas itu. Redaktur atau
editor hanya mengubah kesesuaian kata-kata agar menjadi lebih baik dan enak
dibaca. Redaktur pelaksana menyetujui berita itu untuk naik cetak. Apabila
terbukti bahwa reporter menyeludupkan fakta/data yang tidak benar, slaah
mengutip atau salah merumuskan pengertian, maka menurut pengalaman teknis
jurnalistik kesalahan terbesar ada pada si reporter yang bersangkutan. Ada dua
pendapat yakni dalam arti luas dan sempit.
Jika pertanggungjawaban dalam arti luas, yang menjadi
pelaku utama adalah penentu terakhir proses penerbitan suatu berita. Dalam hal
ini adalah pemimpin redaksinya. Jika dalam arti sempit, tanggungjawab seseorang
harus diukur seimbang dengan perbuatan nyata orang yang bersangkutan. Dalam hal
ini adalah reporter itu sendiri.
Sesuai dengan sistem penyertaan, penerbit dan pencetak
sebenarnya dapat dikatakan ikut terlibat dalam suatu pemuatan suatu berita yang
dilakukan oleh pers. Hal ini disebabkan karena proses pemuatan suatu berita
yang kemudian dinilai merupakan suatu tindak pidana, pasti melibatkan penerbit
dan pencetak. Tetapi dengan adanya ketentuan pasal 61 dan 62 KUHP, yang
merupakan pengecualian dari sistem penyertaan, maka penerbit dan pencetak
tersebut dapat terbebas dari pertanggungjawaban secara hukum pidana.
[1] Antonius
PS Wibowo, Pertanggungjawaban Pidana Pers
DalamPrespektif Kebebasan Pers :Telaah Terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 Tentang Pers, (Tesis Universitas Indonesia, Jakarta, 2001), hal.3.
[2] Mardjono
Reksodiputro, Perenungan Perjalanan
Reformasi Hukum, (Komisi Hukum Nasional RI, Jakarta, 2013), hal. 54.
[5] Mustafa
Abdullah, Beberapa Permasalahan
Pertanggungjawaban Pidana Pers Suatu Telaah Menurut Hukum Positif di Indonesia,
(Disertasi Doktro Universitas Indonesia, Jakarta, 1992) hal. 239.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar