Selasa, 11 September 2018

Pertanggungjawaban Pidana yang Dilakukan Oleh Pers



Pers dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Pers diterbitkan untuk memenuhi hajat masyrakat untuk memperoleh informasi secara terus menerus atas peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu pers mempunyai kedudukan sebagai lembaga kemasyarakatan yang dipengaruhi dan mempengaruhi lembaga kemasyarakatan lain. Di sisi lain, Pers hidup dalam keterkaitan dengan sutau organisasi lain, yaitu masyarakat di tempat pers itu berfungsi.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pers adalah usaha percetakan dan penerbitan usaha pengumpulan dan penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, dan radio, orang yang bergerak dalam penyiaran berita, medium penyiaran berita, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi atau film. Pers (press) atau jurnalisme adalah proses pengumpulan, evaluasi dan distribusi berita kepada publik. Pers adalah lembaga sosial dan wahan komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Pers memiliki peranan penting dalam mewujudkan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana dijamin dalam ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indoensia Nomor XVII/MPPR/1998 yang antara lain yang menyatakan bahwa, “setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya Pasal 19 berbunyi, setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dengan tidak memandang batas-batas wilayah.”
Setelah terbitnya Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982, yang memberi tekanan kuat pada kemerdekaan pers terutama yang dinyatakan pada pasal 2 dan berbunyi kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Selanjutnya pasal 4 ayat 1 menyatakan kemerdekaan pers menjamin sebagai hak asasi warga Negara.
Pers juga melaksanakan control sosial (social control) untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Pers juga mempunyai segi lain, bukan sekedar mencerminkan apa yang terjadi secara reaktif, secara paksa kejadian, post facktum, tetapi melihat lebih dulu, merencanakan dan mengandekan. Pers bukan saja ridding the news, tetapi sebutlah sekedar untuk membedakan, making the news, planning the news. Dari sisi inilah, pers dikatakan tidak sekedar terbawa oleh peristiwa dan masalah, tetapi semacam membuat, menentukan atau lebih proposional mempengaruhi agenda.
Pers sebagai media komunikasi dapat berperan dua arah. Di satu pihak perannya dapat bersifat bottom up, yaitu menampung dan menyalurkan aspirasi dan pendapat warga. Di lain pihak perannya bersifat top down, yaitu dapat menyampaikan kebijkasanaan penguasa. Mengingat peran sebagai perantara sedemikian penting, maka berbagai upaya perlu dilakukan supaya pers dapat melasanakan peranannya dengan baik.[1]
Menurut, Prof. Mardjono Reksodiputro, media massa mendapatkan julukan “the hidden paradise” (pembujuk tersembunyi).[2] Melalui media massa saat ini, peran opini yang didapatkan adanya sebuah bujukan atau pengaruh dari kelompok maupun masyarakat. Media massa juga merupakan suatu bisnis yang menggiurkan tidak hanya karena high rate of investement yang diperoleh dari modal yang ditanamnya, tetapi lebih jauh lagi adalah kekuasaan yang diperolehnya dengan mempengaruhi opini publik. Kejujuran jurnalisme dalam menyajikan berita dan menseleksi karangan  dan iklan masyrakat, merupakan ambang batas dan penghalang disalahgunakannya kekuasaan media massa mempengaruhi/membujuk opini publik secara tidak bertanggungjawab.
Pers mempunyai berbagai macam tanggung tanggung jawab. Salah satunya adalah tanggung jawab hukum.[3] Berdasarkan ketentuan di dalam penjelasan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (selanjutnya ditulis : UU Nomor 40/1999), dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya ditulis : KUHP), pada saat sekarang masih tetap berlaku. Penjelasan pasal 12 tersebut antara lain berbunyi sebagai berikut : “...sepanjang meyangkut pertanggungjawaban pidana, menganut ketentuan perundang-undnagan yang berlaku.: Yang dimaksud dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku meliputi juga KUHP, sebab pada masa berlakunya undang-undang pers yang lama, yaitu UU Nomor 11 Tahun 1966 jo UU Nomor 4 Tahun 1967 jo UU Nomor 21 Tahun 1982, berlaku dualism sistem pertanggungawaban pidana pers.[4]
Dalam kaitannya dengan tindak pidana pers, apabila terjadi tindak pidana pers, maka mereka yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut, dipertanggungjawabkan sesuai dengan ajaran penyertaan, sehingga diantara ada yang dipertanggungjawabkan sebagai pleger, sebagai medepleger, dan mungkin juga sebagai medeplichtige, tergantung pada keikutsertaan masing-masing peserta dalam tindak pidana pers.[5]
Pada dasarnya KUHP Indonesia menganut ajaran atau sistem penyertaan delneming). Adanya pengecualian terhadap ajaran penyertaan tersebut jika dilihat pada sistem tanggungjawab yang berhubungan dengan tindak pidana percetakan. Percetakan atau penerbit yang memenuhi ketentuan Pasal 61 dan 62 KUHP, tidak dapat dihukum berdasarkan sistem penyertaan.
Dalam kaitanyya dengan penerapan sistem penyertaan tindak pidana yang dilakukan oleh pers (Delik pers), perlu diketahui mekanisme redaksional dari pers tersebut. Dengan kata lain, perlu diketahui tentang lika-liku mekanisme kerja dari pers. Untuk jenis berita straight news, tidak terlampau sulit menentukan siapa yang bersalah paling besar dan dalam status sebagai apa. Pada straight news, yang seluruhnya berisi fakta dan data, biasanya seorang wartawan (reporter) dapat mengerjakan sendiri tugas itu. Redaktur atau editor hanya mengubah kesesuaian kata-kata agar menjadi lebih baik dan enak dibaca. Redaktur pelaksana menyetujui berita itu untuk naik cetak. Apabila terbukti bahwa reporter menyeludupkan fakta/data yang tidak benar, slaah mengutip atau salah merumuskan pengertian, maka menurut pengalaman teknis jurnalistik kesalahan terbesar ada pada si reporter yang bersangkutan. Ada dua pendapat yakni dalam arti luas dan sempit.
Jika pertanggungjawaban dalam arti luas, yang menjadi pelaku utama adalah penentu terakhir proses penerbitan suatu berita. Dalam hal ini adalah pemimpin redaksinya. Jika dalam arti sempit, tanggungjawab seseorang harus diukur seimbang dengan perbuatan nyata orang yang bersangkutan. Dalam hal ini adalah reporter itu sendiri.
Sesuai dengan sistem penyertaan, penerbit dan pencetak sebenarnya dapat dikatakan ikut terlibat dalam suatu pemuatan suatu berita yang dilakukan oleh pers. Hal ini disebabkan karena proses pemuatan suatu berita yang kemudian dinilai merupakan suatu tindak pidana, pasti melibatkan penerbit dan pencetak. Tetapi dengan adanya ketentuan pasal 61 dan 62 KUHP, yang merupakan pengecualian dari sistem penyertaan, maka penerbit dan pencetak tersebut dapat terbebas dari pertanggungjawaban secara hukum pidana.


[1] Antonius PS Wibowo, Pertanggungjawaban Pidana Pers DalamPrespektif Kebebasan Pers :Telaah Terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, (Tesis Universitas Indonesia, Jakarta, 2001), hal.3.
[2] Mardjono Reksodiputro, Perenungan Perjalanan Reformasi Hukum, (Komisi Hukum Nasional RI, Jakarta, 2013), hal. 54.
[3] Wina Armada, Wajah Hukum Pidana Pers, Cetakan 1, (Jakarta, Pustaka Kartini, 1989), hal. 81.
[4] Ibid, hal. 97.
[5] Mustafa Abdullah, Beberapa Permasalahan Pertanggungjawaban Pidana Pers Suatu Telaah Menurut Hukum Positif di Indonesia, (Disertasi Doktro Universitas Indonesia, Jakarta, 1992) hal. 239.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar