Selasa, 11 September 2018

Pidana Bersyarat dan Pelepasan Bersyarat


           

            Pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) yang tercantum dalam Pasal 14a sampai 14f KUHP diwarisi dari Belanda, tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan antara keduannya. Ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terikat pda Pasal 10 KUHP, hanya batas pidana itu tidak akan lebih satu tahun penjara atau kurungan.
            Dalam pidana bersyarat, dikenal syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum ialah terpidana bersyarat tidak ditentukan, sedangkan syarat khusus akan ditentukan oleh hakim. Pengawasan terhadap pidana bersyarat dilakuakan oleh yang melaksankan eksekusi, yakni jaksa. Syarat umum ialah terpidana tidak akan melakukan perbuatan delik dalam bentuk apapun dan syarat khusus menurut Roeslan Saleh, batasan syarat khusus ini tidak boleh mengurangi kemerdekaan berpolitik dan beragama. Artinya sosial pidana bersyarat ini terletak pada syarat-syarat khususnya.
            Kesulitan dalam penerapan pidana bersyarat di Indonesia ialah anggapan dalam masyrakat, terutama korba delik seakan-akan putusan pidana bersyarat itu sinonim dengan bebas (vrijspraak) karena terpidana bebas berkeliaran di luar. Misalnya pada kasus Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), tuntutan jaksa dalam perkara penistaan agama berupa hukuman penjara 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. Pidana percobaan ini disamakan dengan pidana bersyarat, yang artinya, pidana tidak dijatuhkan dengan syarat terdakwa tidak mengulangi perbuatan yang didakwakan tersebut.
            Berbeda dengan Pelepasan Bersyarat, perbedaannya adalah pada pidana bersyarat terpidana tidak pernah menjalani pidananya kecuali jika ia melanggar syarat umum atau syarat khusus yang ditentukan oleh hakim, sedangkan pada pelepasan bersyarat terpidana harus menjalani pidananya paling kurang dua per tiganya. Pelepasan bersyarat ini tidak imperative dan otomatis. Dikatakan “dapat” diberikan pelepasan bersyarat.
            Keputusan untuk memberikan pelepasan bersyarat dkeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM mendengar pendapat umum dan tentu pejabat Lembaga Pemasyarakatan, yang lebih mengetahui tingkah laku terpidana selama menjalani penjaranya.
            Maksud pelepasan bersyarat sama dengan pidana bersyarat, ialah mengembalikan terpidana ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Oleh karena itulah, sebelum diberikan pelepasan bersyarat kepada terpidana, harus mempertimbangkan masak-masak kepentingan masyarakat yang menerima bekas terpidana. Harus dipersiapkan lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan keterampilan yang diperolehnya selama dalam Lembaga Pemasyarakatan.
            Ketentuan mengenai pelepasan bersyarat diatur dalam Pasal 15, 15a, 16, dan 17 KUHP. Dan yang terpenting adalah Pasal 15 KUHP yang berbunyi sebagai berikut, “Jika terpidana menjalani dua per tiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus Sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan  pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana. Ketika suatu masa percobaan serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang sah maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.”

Sumber : Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya. Karya Andi Hamzah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar