Pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling) yang tercantum dalam Pasal 14a sampai 14f KUHP diwarisi dari Belanda, tetapi dengan perkembangan zaman telah terdapat perbedaan antara keduannya. Ketentuan tentang pidana bersyarat masih tetap terikat pda Pasal 10 KUHP, hanya batas pidana itu tidak akan lebih satu tahun penjara atau kurungan.
Dalam
pidana bersyarat, dikenal syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum ialah
terpidana bersyarat tidak ditentukan, sedangkan syarat khusus akan ditentukan
oleh hakim. Pengawasan terhadap pidana bersyarat dilakuakan oleh yang
melaksankan eksekusi, yakni jaksa. Syarat umum ialah terpidana tidak akan
melakukan perbuatan delik dalam bentuk apapun dan syarat khusus menurut Roeslan
Saleh, batasan syarat khusus ini tidak boleh mengurangi kemerdekaan berpolitik
dan beragama. Artinya sosial pidana bersyarat ini terletak pada syarat-syarat
khususnya.
Kesulitan
dalam penerapan pidana bersyarat di Indonesia ialah anggapan dalam masyrakat,
terutama korba delik seakan-akan putusan pidana bersyarat itu sinonim dengan
bebas (vrijspraak) karena terpidana
bebas berkeliaran di luar. Misalnya pada kasus Mantan Gubernur DKI Jakarta,
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), tuntutan jaksa dalam perkara penistaan agama
berupa hukuman penjara 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. Pidana percobaan
ini disamakan dengan pidana bersyarat, yang artinya, pidana tidak dijatuhkan
dengan syarat terdakwa tidak mengulangi perbuatan yang didakwakan tersebut.
Berbeda
dengan Pelepasan Bersyarat, perbedaannya adalah pada pidana bersyarat terpidana
tidak pernah menjalani pidananya kecuali jika ia melanggar syarat umum atau
syarat khusus yang ditentukan oleh hakim, sedangkan pada pelepasan bersyarat
terpidana harus menjalani pidananya paling kurang dua per tiganya. Pelepasan
bersyarat ini tidak imperative dan otomatis. Dikatakan “dapat” diberikan
pelepasan bersyarat.
Keputusan
untuk memberikan pelepasan bersyarat dkeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM
mendengar pendapat umum dan tentu pejabat Lembaga Pemasyarakatan, yang lebih
mengetahui tingkah laku terpidana selama menjalani penjaranya.
Maksud
pelepasan bersyarat sama dengan pidana bersyarat, ialah mengembalikan terpidana
ke dalam masyarakat untuk menjadi warga yang baik dan berguna. Oleh karena
itulah, sebelum diberikan pelepasan bersyarat kepada terpidana, harus
mempertimbangkan masak-masak kepentingan masyarakat yang menerima bekas
terpidana. Harus dipersiapkan lapangan kerja yang sesuai dengan bakat dan
keterampilan yang diperolehnya selama dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Ketentuan
mengenai pelepasan bersyarat diatur dalam Pasal 15, 15a, 16, dan 17 KUHP. Dan
yang terpenting adalah Pasal 15 KUHP yang berbunyi sebagai berikut, “Jika
terpidana menjalani dua per tiga dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan
kepadanya, sekurang-kurangnya harus Sembilan bulan, maka ia dapat
dikenakan pelepasan bersyarat. Jika
terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap
sebagai satu pidana. Ketika suatu masa percobaan serta ditetapkan syarat-syarat
yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Masa percobaan itu lamanya sama
dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika
terpidana ada dalam tahanan yang sah maka waktu itu tidak termasuk masa
percobaan.”
Sumber
: Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya. Karya Andi Hamzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar